Isnin, 26 Februari 2018

Tafsir Al Ahzab 36: Maksiat, Sesat dan Diancam Azab


Tafsir
Tafsir Al Ahzab 36: Maksiat, Sesat dan Diancam Azab


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (TQS al-Ahzab [33]: 36).

Pengakuan menjadi Muslim, meniscayakan sejumlah konsekuensi. Di antaranya adalah kewajiban mengikuti semua keputusan Allah Swt dan Rasul-Nya. Tidak boleh memiliki pilihan lain dalam perkara yang telah diputuskan-Nya. Sengaja memilih pilihan lain, berarti telah berbuat durhaka terhadap keduanya. Dan tentu saja, itu tidak layak dilakukan seseorang yang mengaku dirinya Muslim dan Muslimah. Lebih jelasnya, dapat disimak penjelasan berikut yang mengurai QS al-Ahzab [33]: 36.
Wajib Mengikuti Keputusan Allah Swt dan Rasul-Nya
Allah Swt berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak [pula] bagi perempuan yang mukmin
Ayat ini turun berkenaan dengan Zainab binti Jahsy; anak bibinya, Umaimah binti Abdul Muthallib. Ketika itu Rasulullah saw melamarnya untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, mantan budaknya. Akan tetapi, lamaran tersebut ditolaknya. Sikap ini juga didukung oleh saudaranya, Abdullah bin Jahsy. Tak lama kemudian, turunlah ayat ini. Mendengar ayat ini turun, Zainab pun berbalik sikap. Wanita Quraisy itu ridha menerima lamaran tersebut dan bersedia menikah dengan Zaid bin Haritsah. Demikian menurut Ibnu Jarir al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan kebanyakan mufassir lain.
Dijelaskan al-Alusi, frasa mâ kâna limu’min[in] wa lâ mu’minat[in] dalam ayat ini bermakna mâ shahha wa mâ [i]staqâma (tidak sah dan tidak lurus) bagi Mukmin laki-laki maupun perempuan. Ditambahkan al-Syaukani, kata mâ kâna, mâ yanbaghî, dan semacamnya bermakna al-man’u wa al-hazhr min al-syay’ (larangan terhadap sesuatu). Bentuk ikhbar tersebut menunjukkan bahwa perkara tersebut tidak halal secara syar’i.
Sedangkan lafadz mu’min wa lâ mu’minah yang berbentuk nakirah dalam kalimat nafi (negatif), memberikan makna umum. Sehingga, ketentuan tersebut berlaku umum, mencakup seluruh kaum Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini dikuatkan dengan dua dhamîr (kata ganti) sesudahnya yang menggunakan dhamîr hum (kata ganti pihak ketiga jamak; mereka), yakni kata lahum (bagi mereka) dan amrihim (urusan mereka).
Adapun perkara yang dilarang bagi mereka, disebutkan dalam frasa berikutnya:
إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka
Pengertian qadhâ dalam ayat ini adalah hakama (memutuskan). Kata amr[an] mencakup semua perkara. Sedangkan al-khiyarah merupakan bentuk mashdar dari kata takhyîr, yang berarti al-ikhtiyâr (pilihan). Sehingga pengertian ayat ini –sebagaimana dijelaskan al-Syaukani– adalah: Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah ketika ada sesuatu yang telah diputuskan oleh-Nya, dia memilih perkara lain yang disukainya. Akan tetapi, wajib baginya patuh kepada keputusan Allah dan menundukkan dirinya di bawah keputusan-Nya dan memilih keputusan tersebut untuknya.
Bahwa tidak ada pilihan bagi seorang Muslim kecuali harus mengikuti ketetapan yang telah diputuskan Allah Swt juga disebutkan dalam firman-Nya:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka (TQS al-Qashash [28]: 68).
Ibnu Katsir juga menegaskan, ayat ini berlaku untuk seluruh perkara. Apabila Allah Swt dan Rasul-Nya saw telah memutuskan tentang sesuatu, maka tidak ada seorang pun yang boleh menyalahinya. Dalam hal ini, tidak ada pilihan, baik dalam pendapat maupun ucapan, sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Nisa;’ [4]: 65). Juga Hadits Nabi saw:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ [حَديثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَرَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّة بإسنادٍ صحيحٍ ]
Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (HR al-Nawawi dalam al-Arba’în).
Hal lain yang bisa diambil dari ayat ini adalah kesetaraan kaum Muslim dalam pernikahan. Dijelaskan al-Qurthubi, ayat ini juga menjadi dalil bahwa keharusan sekufu (dalam pernikahan) dalam hal keturunan tidak dianggap. Menurutnya, yang bisa dianggap hanyalah sekufu dalam hal agama. Buktinya, banyak pernikahan budak terjadi di kalangan Quraisy, seperti Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy, al-Miqdad bin al-Aswad dengan Dhabi’ah binti Zubair, Bilal dengan saudara perempuan Abdurrahman bin ‘Aiuf, dan lain-lain.
Hukuman Bagi Pembangkang
Kewajiban mengikuti keputusan Allah Swt dan Rasul-Nya kian jelas dengan kelanjutan ayat ini:
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dan barang ‘siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
Menurut al-Raghib al-Asfahani, bisa dikatakan ‘ashâ ‘ishyân[an] apabila kharaja ‘an al-thâ’ah (keluar dari ketaatan). Dengan demikian, frasa man ya’shil-Lâh wa Rasûlahu berarti orang-orang yang membangkang dan tidak taat terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya.
Orang-orang yang berbuat demikian, dinyatakan:
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata
Dijelaskan al-Raghib, kata al-dhalâl berarti al-‘udûl ‘an al-tharîq al-mustaqîm (berpaling dari jalan yang lurus). Bahkan kata tersebut juga dapat digunakan untuk menunjuk setiap penyimpangan dari jalan yang lurus, baik yang disengaja maupun tidak, besar maupun kecil. Namun ketika ditambahkan bentuk masdar dhalâl[an] yang berguna sebagai ta’kîd (penegasan), menunjukkan bahwa kesesatan tersebut merupakan kesesatan yang besar. Lebih-lebih ketika ditambahkan kata mubîn[an] yang berarti lâ khifâ’an (tidak tersembunyi).
Hal ini memberikan pengertian, siapa pun yang membangkang dan durhaka terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya, maka dia benar-benar telah tersesat dengan kesesatan yang nyata, jelas, dan tidak samar. Menurut al-Biqa’i, dikaitkannya perintah tersebut dengan keimanan, menunjukkan bahwa barangsiapa yang berpaling (dari perintah-Nya), maka sesungguhnya dia bukanlah seorang Mukmin meskipun dia menampakkan keimanan dengan lisannya.
Dijelaskan Abdurrahman al-Sa’di dalam tafsirnya, disebut sebagai kesesatan yang nyata karena pelakunya telah meninggalkan jalan yang lurus, yang mengantarkan kepada kemuliaan Allah, menuju jalan-jalan lain, yang mengantarkan pelakunya kepada azab yang pedih.
Sebagaimana layaknya kesesatan, maka pelakunya diancam dengan azab yang mengerikan. Pelakunya dimasukkan ke dalam neraka dan mendapatkan siksa yang menghinakan (lihat QS al-Nisa’ [4]: 14). Allah Swt juga berfirman:
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya (TQS al-Jin [72]: 23).
Penjelasan ayat-ayat di atas amat gamblang. Tidak ada yang samar dan multitafsir. Maka, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak syariah. Penolakan terhadap syariah –seluruhnya atau sebagian– hanya akan menyebabkan pelakunya tergelincir kepada kesesatan dan azab yang pedih. Wahai wahai kaum Mukminin, bersegaralah memenuhi panggilan Allah Swt dan Rasul-Nya untuk menegakkan syariah-Nya di muka bumi. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
*Ikhtisar:*
1. Seorang Mukmin wajib mengikuti semua ketetapan syariah, tanpa kecuali
2. Sikap membangkang terhadap syariah-Nya, merupakan kesesatan yang nyata
3. Membangkang dan durhaka kepada Allah dan rasul-Nya menyebabkan pelakunya mendapatkan siksa yang pedih.
Oleh: KH. Rokhmat S. Labib, M.E.I.