Isnin, 30 Jun 2014

Fadhilah (Keutamaan) Qiyamul Lail dan Shalat Tarawih


Secara umum, qiyamul lail adalah perkara yang sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Berikut beberapa fadhilah yang bersumber dari beberapa dalil dari ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan berbagai keutamaannya.



Pertama, qiyamul Lail adalah sifat seorang mukmin yang mewujudkan hakikat keimanannya.

Allah Ta’âlâ berfirman,

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ. تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.

“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang, apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Rabb-nya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka, sedang mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” [As-Sajadah: 15-16]



Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla memuji orang-orang yang sering menegakkan shalat pada malam hari sebagai hamba-hamba-Nya yang dimuliakan.

Allah Jalla Tsanâ`uhu berfirman,

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

“Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” [Al-Furqân: 64]



Ketiga, pemanfaatan akhir malam adalah kedisiplinan orang-orang yang bertakwa.

Allah Ta’âlâ menjelaskan,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ. آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ. كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan pada mata air-mata air, sambil mengambil sesuatu yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya, sebelumnya di dunia, mereka adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; Dan pada akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).” [Adz-Dzâriyât: 15-18]



Keempat, Allah membedakan kedudukan orang-orang yang mengerjakan shalat pada malam hari dan orang-orang yang tidak mengerjakan shalat.

Rabbul ‘Izzah berfirman,

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ.

“(Wahai orang musyrik, apakah kamu yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada malam hari dengan bersujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [Az-Zumar: 9]



Kelima, karena keutamaan qiyamul lail yang sangat besar, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menegakkan shalat malam tersebut.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا.

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk mengerjakan shalat) pada malam hari, kecuali sedikit (dari malam itu), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua itu, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur`ân itu dengan perlahan-lahan.” [Al-Muzzammil: 1-4]

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ

“Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat pada malam hari dan ketika bintang-bintang (saat fajar) terbenam.” [Ath-Thûr: 49]



Keenam, qiyamul lail adalah bekal untuk menghadapi hari kiamat, hari yang penuh dengan kesulitan.

Allah ‘Azza wa Jalla memerintah,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا. إِنَّ هَؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا. نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَشَدَدْنَا أَسْرَهُمْ وَإِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَا أَمْثَالَهُمْ تَبْدِيلًا.

“Dan pada sebagian malam, bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang saat malam hari. Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan tidak memedulikan kesudahan mereka pada hari yang berat (hari akhirat). Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka. Apabila menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka.” [Al-Insân: 26-28]

Mungkin dari makna ayat di atas, Imam Al-Auza’iy rahimahullah menyatakan, “Barangsiapa yang memperpanjang qiyamul lail, Allah akan memudahkannya (ketika) berdiri pada hari kiamat.” [1]



Ketujuh, Allah menjamin kedudukan yang terpuji untuk Nabi-Nya dengan pelaksanaan shalat tahajjud.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا.

“Dan pada sebagian malam, bertahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” [Al-Isrâ`: 79]



Kedelapan, orang-orang yang menegakkan qiyamul lail pada akhir malam tergolong ke dalam orang-orang yang memohon ampun pada waktu sahur. Allah telah memuji mereka dalam firman-Nya,

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ.

“(Yaitu) orang-orang yang berdoa, ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.’ (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun pada waktu sahur.” [Âli ‘Imrân: 16-17]



Kesembilan, shalat lail adalah shalat sunnah yang paling utama setelah shalat wajib.

Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Seutama-utama puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) bulan Allah, Muharram, dan seutama-utama shalat setelah (shalat) fardhu adalah shalat Lail.” [2]



Kesepuluh, sedekat-dekat keberadaan Allah terhadap hamba-Nya terhitung pada saat pelaksanaan shalat lail.

Dalam hadits ‘Amr bin ‘Abasah radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الرَّبُّ مِنَ الْعَبْدِ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُوْنَ مِمَّنْ يَذْكُرُ الله َفِيْ تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ

“Sedekat-dekat keberadaan Allah terhadap seorang hamba adalah pada pertengahan malam terakhir. Maka, kalau engkau mampu menjadi orang yang mengingat Allah pada saat itu, lakukanlah.” [3]



Kesebelas, shalat Lail termasuk penyebab yang menjadikan seseorang terhindar dari fitnah sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ,

اسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أَنْزَلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ وَمَاذَا فَتَحَ مِنَ الْخَزَائِنِ , أَيْقِظُوْا صَوَاحِبَاتِ الْحُجْرِ فَرُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٌ فِيْ الْآخِرِةِ

“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam terbangun pada suatu malam lalu bersabda, ‘Subhanallah terhadap segala sesuatu yang diturunkan pada malam ini berupa fitnah dan segala sesuatu yang dibuka berupa berbagai perbendaharaan. Bangunkanlah (para perempuan) pemilik kamar karena (mereka) kadang berpakaian di dunia, (tetapi) telanjang di akhirat.’.” [4]



Kedua belas, perhatian Nabi r terhadap shalat malam ini sebagai lambang hamba yang bersyukur.

‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertutur,

أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا

“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qiyamul lail sampai kedua kaki beliau pecah-pecah, maka saya bertanya, ‘Mengapa engkau melakukan ini, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang?’ Beliau pun menjawab, ‘Tidak (bolehkah) saya suka untuk menjadi hamba yang bersyukur?’.” [5]



Ketiga belas, keutamaan bagi suami istri yang menghidupkan shalat malam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ اللهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Allah merahmati seorang lelaki yang bangun pada malam hari lalu mengerjakan shalat dan membangunkan istrinya. Kalau istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajah (istri)nya. Allah merahmati seorang perempuan yang bangun pada malam hari lalu mengerjakan shalat dan membangunkan suaminya. Kalau suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajah (suami)nya.” [6]



Keempat belas, qiyamul lail adalah kemuliaan seorang mukmin sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكِ مَجْزِيٌّ بِهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ وَعِزَّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ

“Jibril datang kepadaku lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, hiduplah engkau sesukamu karena sesungguhnya engkau akan meninggal. Cintailah siapapun yang engkau sukai karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Beramallah dengan (amalan) yang engkau sukai karena engkau akan mendapatkan imbalannya. Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah shalatnya pada malam hari dan keagungannya adalah perasaan cukupnya terhadap (segala sesuatu yang berada di sisi) manusia.’.” [7]



Kelima belas, qiyamul lail adalah penggugur kejelekan dan pencegah perbuatan dosa sebagaimana dalam hadits Abu Umamah, dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah bersabda,

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ ، وَهُوَ قُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ

“Hendaknya kalian mengerjakan qiyamul lail karena (ibadah) itu adalah rutinitas orang-orang shalih sebelum kalian serta (ibadah) itu adalah hal yang mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, penggugur segala kesalahan, dan pencegah perbuatan dosa.” [8]



Keenam belas, qiyamul lail adalah salah satu hal yang mengakibatkan seorang hamba dimasukkan ke dalam surga. Dalam hadits Abdullah bin Salam radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الأَرْحَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.

“Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan kerjakanlah shalat pada waktu malam ketika manusia sedang tidur. Niscaya, kalian akan dimasukkan ke dalam surga dengan keselamatan.” [9]



Ketujuh belas, timbul kecemburuan terhadap orang yang mengerjakan qiyamul lail lantaran kebesaran pahala yang dia peroleh. Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ

“Tidak ada hasad, kecuali terhadap dua sifat: seorang lelaki yang Allah berikan Al-Qur`an kepadanya, maka dia pun mengerjakan qiyam dengan (Al-Qur`an) itu pada beberapa waktu saat malam dan siang hari, dan seorang lelaki yang Allah berikan harta kepadanya, maka dia pun menginfakkan (harta) itu pada beberapa waktu saat malam dan siang hari.” [10]



Kedelapan belas, orang yang mengerjakan shalat malam termasuk manusia terbaik. Nabi r bersabda,

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik seorang lelaki adalah Abdullah bin ‘Umar andaikata dia mengerjakan shalat malam.”[11]



Kesembilan belas, orang-orang yang mengerjakan shalat malam tergolong sebagai orang yang banyak berdzikir kepada Allah.

Dalam hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah r bersabda,

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seorang lelaki bangun tidur pada malam hari, kemudian membangunkan istrinya, lalu keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, keduanya telah ditulis sebagai golongan laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah.” [12]

Demikian beberapa keutamaan shalat lail.



Adapun pada bulan Ramadhan, shalat Lail adalah ibadah yang sangat dianjurkan dan lebih ditekankan. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan ibadah tersebut dalam sabdanya,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang qiyâm Ramadhan (berdiri untuk mengerjakan shalat pada malam Ramadhan) dengan keimanan dan pengharapan pahala, dosa-dosanya yang telah berlalu telah diampuni.” [13]

Imam An-Nawawy rahimahullâh berkata, “Yang dimaksud dengan qiyâm Ramadhan adalah shalat Tarawih.” [14]

Bahkan, Al-Kirmany menukil kesepakatan bahwa, dalam hadits di atas, yang dimaksud dengan qiyâm Ramadhan adalah shalat Tarawih. Namun, nukilan kesepakatan dari Al-Kirmâny tersebut dianggap aneh oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar karena kapan saja qiyamul lail dikerjakan pada malam Ramadhan dengan berjamaah (tarawih) atau tanpa berjamaah, hal yang diinginkan telah tercapai. Demikian makna keterangan Al-Hâfizh Ibnu Hajar.[15]

Selain itu, dalam hadits ‘Amr bin Murrah Al-Juhany radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

جَاءَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ ، وَصُمْتُ الشَّهْرَ ، وَقُمْتُ رَمَضَانَ ، وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ))

“Seorang lelaki dari Qudhâ’ah datang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau andaikata saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq, kecuali Allah, dan engkau rasul Allah, saya mengerjakan shalat lima waktu, saya berpuasa (pada) bulan (Ramadhan), saya melakukan qiyâm Ramadhan, dan saya mengeluarkan zakat?’ Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang meninggal di atas hal ini, ia termasuk sebagai para shiddîqîn dan orang-orang yang mati syahid.’.” [16]

Dalam hadits lain, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya seorang lelaki, apabila mengerjakan shalat bersama imam sampai selesai, terhitung mengerjakan qiyâm satu malam.” [17]

Tentang lailatul qadri, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berdiri (untuk mengerjakan shalat pada) malam lailatul qadri dengan keimanan dan pengharapan pahala, dosanya yang telah berlalu telah diampuni.” [18]

Wallahu A’lam.

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asâkir dalam Tarikh-nya 35/195.

[2] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1163, Abu Dâud no. 2429, At-Tirmidzy no. 438, dan An-Nasâ`iy 3/206-207.

[3] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/182, At-Tirmidzy 3588, An-Nasâ`iy 1/279, Ibnu Khuzaimah no. 1147, Al-Hâkim 1/453, Ath-Thabarâny dalam Musnad Asy-Syâmiyin no. 605, 1969 dan dalam Ad-Du’â` no. 128, Al-Baihaqy 3/4, serta Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 4/13, 22-23. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam beberapa buku beliau, dan Syaikh Muqbil, dalam Al-Jami’ Ash-Shahîh 2/171.

[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 115, 1126, 5844, 6218, 7069.

[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 4837 dan Muslim no. 2820 dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry no. 1130, 4836, 6471, Muslim no. 2819, At-Tirmidzy no. 412, An-Nasâ`iy 3/219, dan Ibnu Mâjah no. 1419 dari hadits Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallâhu ‘anhu.

[6] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/250, 437, Abu Dâud no. 1308, 1450, An-Nasâ`iy 3/205, Ibnu Mâjah no. 1336, Ibnu Khuzaimah no. 1148, Ibnu Hibbân no. 2567 -Al-Ihsân-, Al-Hâkim 1/453, dan Al-Baihaqy 2/501. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dan Syaikh Muqbil dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahîh 2/172.

[7] Dikeluarkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, As-Sahmy dalam Târîkh Al-Jurjân, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, Al-Qadha`iy, dan Abu Nu’aim. Dishahihkan oleh Al-Hâkim dan dihasankan oleh Al-Mundziry, Al-‘Iraqy, dan Al-Albâny. Bacalah Ash-Shahîhah no. 831. Uraian jalur-jalur periwayatannya dari tiga orang shahabat.

[8] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, dan selainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albâny dari seluruh jalan-jalannya. Baca pembahasan beliau dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 452.

[9] Diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Mâjah, dan Al-Hâkim. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Ash-Shahîhah no. 569.

[10] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.

[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Hafshah bin ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ.

[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Abu Dâud no. 1453, An-Nasâ`iy dalam Al-Kubrâ` 1/413, Ibnu Majah no. 1335, Ibnu Abid Dunyâ dalam At-Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 233, 426, Al-Âjurry dalam Fadhlut Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 20, Al-Bazzar 2/423/8281, Al-Harits bin Abi Usamah no. 239, Ibnu Hibban no. 2568-2569, Al-Hâkim 1/461, 2/452, dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubrâ` dan Syu’abul Îmân.

[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 37, 2008-2009, Muslim no. 759, Abu Dâud no. 1371, At-Tirmidzy no. 682, 807, dan An-Nasâ`iy 3/201, 4/154, 155, 156, 157, 8/117-118 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

[14] Syarh Muslim 6/38.

[15] Bacalah Fathul Bâry 4/251.

[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2212, Ibnu Hibbân sebagaimana dalam Al-Ihsân no. 3438, Ath-Thabarâny dalam Musnad Asy-Syâmiyin no. 2939, dan Al-Khathîb dalam Al-Jâmi’ li Akhlâq Ar-Râwy 2/207. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Qiyâm Ramadhân hal. 18.

[17] Hadits Abu Dzar dengan konteks yang panjang. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzâq 4/254, Ibnu Abi Syaibah 2/164, Ahmad 5/159, 163, Ad-Dârimy 2/42, Ibnul Jârûd no. 403, Abu Dâud no. 1375, At-Tirmidzy no. 805, An-Nasâ`iy 3/83, Ibnu Mâjah no. 1327, Ibnu Abid Dunyâ dalam At-Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 402, Ath-Thahâwy dalam Syarh Ma’âni Al-Atsâr 2/349, Ibnu Khuzaimah no. 2206, Ibnu Hibbân no. 2547, Al-Baihaqy 2/494 dan dalam Syu’abul Îmân 3/178-179, dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 8/112. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam Irwâ`ul Ghalîl 2/193/447, dan Syaikh Muqbil, dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahîh 2/175.

[18] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 35, 1901, 2014, Muslim no. 760, Abu Dâud no. 1372, At-Tirmidzy no. 682, dan An-Nasâ`iy 4/156, 157, 8/118 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

Dzulqarnain.net

Sabtu, 14 Jun 2014

syarah bacaan seputar solat


Doa Keluar Rumah untuk ke Masjid dan Selainnya (1)

Dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila seseorang keluar dari rumahnya kemudian membaca,

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

(Dengan Nama Allah, Saya bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan, kecuali hanya kepada Allah)

Akan dikatakan kepadanya, ‘Engkau telah mendapat hidayah, telah dicukupi, dan telah dilindungi.’ Para syaithan akan menjauh darinya sehingga syaitan lain berkata, ‘Bagaimana Engkau (mampu mengganggu) seorang lelaki yang telah diberi hidayah, dicukupi, dan dilindungi?’.”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan Ibnu Hibbân. Terdapat keterputusan dalam sanadnya, tetapi bisa dihasankan lantaran beberapa pendukungnya. Bacalah Takhrîj Ibnu Majah oleh Syu’aib Al-Arnâ`ûth no. 3885]

Penjelasan

Doa agung ini diajarkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar dibaca oleh setiap muslim dan muslimah jika mereka keluar dari rumahnya untuk menunaikan keperluan yang berkaitan dengan dunia maupun akhiratnya.

“Apabila seseorang keluar dari rumahnya”, maksudnya adalah apabila seseorang akan keluar atau sedang keluar dari rumahnya.

“Rumahnya” adalah rumah yang dia tinggali atau rumah yang dia singgahi saat safar.

“Bismillah” artinya adalah “dengan menyebut nama Allah, Saya keluar dari rumah”, merupakan permohonan kepada Allah Ta’âlâ agar seseorang dibantu dan diberi kemudahan ketika keluar dari rumahnya dan juga pada segala urusannya.

“Saya bertawakkal kepada Allah”, yakni “Saya bersandar kepada Allah dan menyerahkan segala urusanku kepada-Nya”.

Tawakkal merupakan amalan hati dan ibadah yang tidak diserahkan, kecuali hanya kepada Allah, sebagaimana firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” [Al-Mâ`idah: 23]

Tatkala tawakkal merupakan pokok ibadah dan keagungan tauhid. Seorang hamba yang bertawakkal kepada Allah Ta’âlâ pada segala urusannya, baik urusan dunia maupun akhirat, akan tercukupi oleh Allah Ta’âlâ pada segala keperluan dan kebahagiannya. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” [Ath-Thalâq: 3]

“Tiada daya dan kekuatan, kecuali hanya kepada Allah”.

Ini adalah kalimat agung yang menunjukkan ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah Ta’âlâ, kalimat yang menunjukkan kesadaran hamba bahwa tiada daya dalam menolak bahaya dan tiada kekuatan dalam meraih kebaikan, kecuali hanya dengan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla.

Tiada daya yang memindahkan hamba dari maksiat kepada ketaatan, dari sakit kepada kesehatan, dari kelemahan kepada kekuatan, dari kekurangan kepada kesempurnaan dan kecukupan, kecuali hanya kepada Allah. Sebagaimana, tiada kekuatan dalam menegakkan suatu ibadah, dalam menyelesaikan urusan, meraih tujuan, dan menggapai segala yang diperlukan, kecuali hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Telah sah sejumlah dalil yang menunjukkan keutamaan dan keagungan kalimat lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh ini.

Dalam doa ini disebutkan penggabungan tiga perkara agung: (1) mengambil pertolongan dengan menyebut nama Allah, (2) bertawakkal kepada Allah, dan (3) berlepas diri dari segala daya dan upaya, kecuali hanya kepada Allah.

Tiga hal ini memberi tiga pengaruh indah pula bagi seorang hamba. Siapa saja yang membaca doa ini ketika keluar rumah, berarti:

(1) “Engkau telah mendapat hidayah”, yaitu diberi hidayah kepada hal yang benar karena memohon pertolongan kepada Allah.

(2) “Telah dicukupi”, yaitu telah dicukupi pada segala perkara dunia maupun akhiratnya karena dia bertawakkal kepada-Nya.

(3) “Dan telah dilindungi”, yaitu dijaga dari segala hal yang membahayakan, berupa gangguan syaithan, musuh, binatang berbisa, dan segala bahaya lainnya.

Pada akhir hadits, dijelaskan bahwa syaithan telah putus asa dari mengganggu dan menyesatkan hamba yang membaca doa keluar rumah tersebut.

Kandungan dan manfaat hadits:

1.Terdapat syariat dan anjuran membaca doa ini setiap keluar rumah.
2.Urgensi basmalah.
3.Urgensi tawakkal.
4.Urgensi ucapan lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh.
5.Pentingnya doa untuk penjagaan diri.
6.Seorang hamba tidak mungkin lepas dari Rabb-nya, walaupun sekejap mata. Dia perlu pertolongan dan perlindungan Allah pada segala keadaan.
7.Penyebutan salah satu sebab datangnya hidayah.
8.Penyebutan salah satu sebab kecukupan Allah untuk seorang hamba.
9.Penyebutan salah satu sebab penjagaan dan perlindungan Allah untuk seorang hamba.
10.Syaithan selalu mengintai manusia pada segala keadaan dan bersama aliran darah manusia.
11.Syaithan menjauh dari siapa saja yang membaca doa ini.
12.Dzikir, jika dibaca dengan menghayati maknanya, adalah salah satu jalan untuk mengusir syaithan dan menghindarkan diri dari gangguan syaithan.
13.Para syaithan bekerjasama dalam menyesatkan dan menjauhkan manusia dari kebaikan.
14.Doa di atas mengandung makna iyyâka na’budu waiyyaka nasta’în.

Bacalah penjelasan hadits ini dalam Syarh Riyâdh Ash-Shâlihîn 1/565-567 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Kâsyif ‘An Haqâ`iq As-Sunan 6/1905 karya Ath-Thîby, Mirqatul Mafâtîh 5/354 karya Ali Qâri`, Fiqh Al-‘Ad’iyah wa Al-Adzkâr 3/96-98 karya Dr. Abdurrazzaq Al-Badr, dan Syarh Hishnul Muslim hlm. 69-71.

http://dzulqarnain.net

Syarah Bacaan Seputar Solat


Doa Keluar Rumah untuk ke Masjid dan Selainnya (2)
Dari Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam apabila keluar rumah, membaca,

بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نَزِلَّ أَوْ نَضِلَّ، أَوْ نَظْلِمَ أَوْ نُظْلَمَ، أَوْ نَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيْنَا

“Dengan Nama Allah, Saya bertawakkal kepada Allah. Ya Allah, Saya berlindung kepada-Mu (agar jangan sampai) Kami tergelincir atau tersesat, berlaku zhalim atau dizhalimi, dan berlaku jahil atau dijahili.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan dengan lafazh,

اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Ya Allah, Saya berlindung kepada-Mu (agar jangan sampai) Saya tersesat atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, berlaku zhalim atau dizhalimi, dan berlaku jahil atau dijahili.”

[Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Ash-Shahîhâh no. 3163]


Penjelasan

Hadits di atas juga menjelaskan doa yang biasa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam baca apabila keluar rumah. Di dalam hadits, terdapat makna-makna agung yang patut diperhatikan. Namun, jika diperhatikan, terdapat kesamaan antara hadits ini dan hadits sebelumnya dalam maksud dan tujuan.

“Apabila beliau keluar rumah”, maksudnya adalah rumah yang dia tinggali atau rumah persinggahan.

“Dengan nama Allah”, yakni “Saya keluar rumah dengan memohon pertolongan kepada Allah.”

“Saya bertawakkal kepada Allah”, yaitu “Saya bersandar dan menyerahkan segala urusanku kepada Allah.”

“Ya Allah”, yakni memanjatkan dengan menyebut nama Allah. Dimaklumi bahwa Kita diperintah untuk berdoa dengan menyebut Al-Asma` Al-Husna sebagaimana dalam firman Allah Ta’âlâ,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah Al-Asma` Al-Husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut (Al-Asma` Al-Husna.” [Al-A’râf: 180]

Mendahului doa atau menyertai doa dengan menyebut Al-Asma` Al-Husna yang mencocoki doa adalah salah satu sebab terkabulnya doa sebagaimana tampak dalam berbagai konteks doa yang disebutkan dalam Al-Qur`an maupun hadits.

“Ya Allah, Saya berlindung kepada-Mu”. Berlindung kepada Allah adalah berpegang kepada Allah dan memohon penjagaan dari-Nya. Di dalam doa ini, seseorang memohon kepada Allah untuk dilindungi dari beberapa perkara:

(1) “(Agar jangan sampai) Kami tergelincir”. Ketergelinciran adalah seseorang keluar dari jalan istiqamah tanpa dia sadari.

(2) “Dan (agar jangan sampai) kami tersesat”, yakni “Jauhkanlah Saya dari perkara yang mengeluarkan dari hidayah.” Kesesatan adalah lawan dari hidayah. Terdapat makna permohonan agar terjaga di atas hidayah dengan dihindarkan dari kesesatan.

(3) “Berlaku zhalim atau dizhalimi”. Kezhaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Kezhaliman mencakup dosa kesyirikan, dosa antara hamba dan Allah -selain kesyirikan-, dan dosa antara sesama makhluk.

Saya berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk tidak menzhalimi orang lain dan berlaku zhalim kepada dirinya terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.

Sebagaimana, Saya berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar jangan sampai ada di Antara makhluk yang menzhalimiku dalam jiwa, harta, dan kehormatanku.

(4) “Dan berlaku jahil dan dijahili,” yaitu jahil terhadap perkara agama, hak-hak Allah, hak-hak manusia, mengenal Allah, dan interaksi dengan manusia. Berlaku jahil juga bisa bermakna berbuat perbuatan orang-orang jahil dalam bentuk mengganggu dan membahayakan orang lain.

Juga, Kami berlindung agar jangan sampai ada orang-orang jahil yang berbuat jahil dengan memberi gangguan dan bahaya kepada Kami.

Pada lafazh hadits yang lain disebutkan,

“Ya Allah, Saya berlindung kepada-Mu agar jangan sampai Saya tersesat atau disesatkan.”

Telah berlalu makna “disesatkan”. Adapun berlindung agar jangan sampai disesatkan, maknanya adalah “Saya berlindung kepada Allah agar jangan sampai ada dari kalangan syaithan, jin, dan manusia yang membuatku tersesat dari jalan lurus.”

“Tergelincir atau ditergelincirkan” yaitu jangan sampai Saya tergelincir oleh diriku sendiri atau dibuat tergelincir oleh orang lain.



Kandungan dan manfaat hadits:

Terdapat syariat dan anjuran membaca doa ini setiap keluar rumah.
Urgensi basmalah.
Urgensi tawakkal.
Berlindung kepada Allah Ta’âlâ dari perkara-perkara yang membawa bahaya terhadap diri sendiri dan membahayakan orang lain.
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari kesesatan.
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari ketergelinciran.
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari kezhaliman.
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari kejahilan.
Seseorang tidak hanya memikirkan cara agar dia selamat dari kezhaliman dan gangguan orang lain, tetapi juga mesti menjaga diri untuk tidak mengganggu dan menzhalimi orang lain.
Doa ini menggabungkan antara memohon pertolongan kepada Allah Ta’âlâ dan memohon sebab-sebab yang mendatangkan pertolongan tersebut atau berlindung dari hal-hal yang bisa menjauhkannya dari pertolongan Allah Ta’âlâ.



Bacalah penjelasan hadits ini dalam Syarh Riyâdh Ash-Shâlihîn 1/565-567 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Kâsyif ‘An Haqâ`iq As-Sunan 6/1904-1905 karya Ath-Thîby, Faidhul Qadîr 5/123 karya Al-Manâwy, Mirqatul Mafât2h 5/352-354 karya Ali Qâri`, Fiqh Al-‘Ad’iyah wa Al-Adzkâr 3/100-103 karya Dr. Abdurrazzaq Al-Badr, dan Syarh Hishnul Muslim hlm. 71-72

dzulqarnain.net