Rabu, 16 Julai 2014

Membaca Al Fatihah Dalam Shalat (2)





Bila Al Fatihah Dibaca?

Telah dibahas pada tulisan sebelumnya, khilaf ulama mengenai hukum membaca Al Fatihah bagi makmum. Dan yang kami pandang rajih adalah yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu makmum wajib membacanya dalam shalat sirriyyah1 dan tidak wajib membaca Al Fatihah dalam shalat jahriyyah2 ketika imam membacanya. Namun bagi yang berpegang pada pendapat wajibnya membaca Al Fatihah pada shalat jahriyah secara mutlak, ada pertanyaan baru: kapan Al Fatihah dibaca?

Seorang makmum wajib mengikuti imam, tidak boleh mendahului atau menyamai imam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنما جُعِلَ الإمامُ لِيُؤْتَمَّ به، فإذا كَبَّرَ فكَبِّروا ، وإذا ركَعَ فاركعوا ، وإذا سجَدَ فاسجدوا ، وإن صلى قائمًا فصلوا قيامًا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti. Jika imam bertakbir maka bertakbirlah, jika ia ruku, maka rukuklah. jika ia sujud maka sujudlah jika ia shalat sambil berdiri maka shalatlah sambil berdiri” (HR. Al Bukhari 378, Muslim 411).

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “dan dalam hadits ini ada kewajiban bagi makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk rukuk, sujud. Dan itu dilakukan oleh makmum setelah imam melakukannya. Maka makmum ber-takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram. Jika itu dilakukan sebelum imam selesai maka tidak benar shalatnya. Dan makmum rukuk setelah imam rukuk sempurna dan sebelum imam bangkit dari rukuk. Jika makmum menyamai imam, atau mendahuluinya, maka menjadi jelek shalatnya, namun tidak sampai batal” (Syarah Shahih Muslim, 4/132).

Dengan demikian, bagi yang berpendapat wajibnya makmum membaca Al Fatihah, hendaknya tidak membacanya bersamaan dengan bacaan imam atau malah mendahului imam. Dalam hal ini para ulama memberikan beberapa beberapa alternatif:

1.Jika ada saktah (jeda antara bacaan ayat) dalam bacaan Al Fatihah imam, maka ketika itu makmum membaca Al Fatihah. Misal, jika antara alhamdulillahirabbil ‘alamin dan ar rahmanirrahim ada saktah, maka ketika itu makmum membaca alhamdulillahirabbil ‘alamin.
2.Jika ada saktah dalam bacaan ayat Al Qur’an imam (setelah amin), maka ketika itu makmum membaca Al Fatihah. Alternatif pertama dan kedua ini afdhal, karena tetap mengamalkan dalil yang memerintahkan makmum mendengarkan bacaan imam.
3.Jika dua alternatif di atas tidak memungkinkan maka makmum boleh membaca Al Fatihah ketika imam sedang membaca ayat Al Qur’an (setelah amin).
4.Jika tiga alternatif di atas tidak memungkinkan juga maka makmum boleh membaca Al Fatihah bersamaan dengan imam.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “jika anda menjadi makmum, maka disyariatkan membacanya secara langsung setelah imam membaca Al Fatihah. Maka bacalah Al Fatihah walaupun ketika itu imam sedang membaca. Dan terkadang itu memang menimbulkan kesulitan karena anda membaca sementara imam juga membaca. Lebih lagi jika imam membacanya dengan menggunakan pengeras suara. Namun kami katakan, lalui saja dan bersabarlah, karena barangsiapa yang bersabar ia akan menang” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).

Lalu bagaimana dengan makmum masbuq, yang mendapati imam sudah rukuk atau sudah akan rukuk? Apakah ia tetap membaca Al Fatihah? Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “masbuq jika ia masuk ke dalam shalat ketika imam sudah rukuk, atau sebelum rukuk namun tidak memungkinkan lagi untuk membaca Al Fatihah, maka dalam keadaan ini kewajiban membaca Al Fatihah gugur darinya” (Majmu Fatawa War Rasail, 13/128).

Disambung atau dipotong?

Al Fatihah dianjurkan dibaca dengan berhenti setiap ayatnya, namun jika disambung juga tidak mengapa. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “Al Fatihah dibaca secara mu’rab, berurutan, dan bersambung. Dan dianjurkan untuk memisahkan antara ayat, sehingga yang membaca akan berhenti 7 kali. Alhamdulillahirabbil ‘alaimin. Berhenti. Ar rahmanirrahim. Berhenti. Maliki yaumiddin. Berhenti. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Berhenti. Ihdinas shiratal mustaqim. Berhenti. Shiratalladzina an’amta ‘alaihim. Berhenti. Ghairil maghdhubi’alaihim waladhaallin. Berhenti. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membacanya dengan memotong ayat-demi-ayat, beliau berhenti setiap satu ayat. Namun jika tidak berhenti pun tidak mengapa. Karena membaca dengan memotong-motong ayat tersebut hanya anjuran, tidak diwajibkan” (Syarhul Mumthi, 3/65).

Orang Yang Tidak Bisa Membaca Al Fatihah

Orang yang tidak bisa membaca Al Fatihah karena baru masuk Islam atau karena belum pernah diajari, maka wajib diajari dan wajib baginya untuk belajar. Karena Al Fatihah merupakan rukun shalat. Adapun sementara ia belum bisa membacanya, maka bisa diganti dengan ayat Al Qur’an yang lain yang bisa ia baca. Sebagaimana hadits al musi-u shalatuhu, yaitu kepada orang yang jelek shalatnya karena belum tahu cara shalat, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا قمتَ إلى الصلاةِ فكَبِّرْ ، ثم اقرأْ ما تيسَّرَ معكَ من القرآنِ

“jika engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang engkau bisa dari ayat Al Qur’an..” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397)

Kemudian jika seseorang sama sekali belum bisa membaca Al Qur’an, maka cukup membaca tasbih, tahmid, tahlil dan hauqalah untuk menggantikan Al Fatihah. Hal ini berdasarkan hadits dari sahabat Ibnu Abi Aufa radhiallahu’anhu:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ فَعَلِّمْنِي شَيْئًا يُجْزِئُنِي مِنَ الْقُرْآنِ. فَقَالَ: ” قُلْ: سُبْحَانَ اللَّهُ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “

“seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kemudian berkata: ‘saya tidak bisa membaca sedikitpun dari ayat Al Qur’an maka ajarkanlah saya sesuatu yang dapat mencukupinya’. Nabi bersabda: ‘katakanlah subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallah, wallahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billah‘” (HR. Al Hakim 123, An Nasa-i 923, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan, “wajib mengajarkan orang yang demikian surat Al Fatihah ini. Jika waktunya sempit, maka ia boleh membaca ayat apa saja selain Al Fatihah yang ia bisa dari Al Qur’an. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘bacalah apa yang engkau bisa dari ayat Al Qur’an‘. Jika ia tidak memungkinkan membaca Al Qur’an, maka ia boleh bertasbih dengan mengucapkan subhanallah, walhamdulillah, wa laailaha illallah, wallahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billah” (Syarhul Mumthi‘, 3/69-70).

Jika Imam Tidak Fasih Membaca Al Fatihah

Di beberapa masjid terutama di daerah pedesaan seringkali ditemukan imam masjid yang tidak fasih dalam membaca Al Qur’an. Tentu saja ini menjadi masalah karena Al Fatihah adalah rukun shalat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya terkait hal ini, “apakah orang yang bacaan Al Fatihahnya terdapat lahn (kesalahan) sah shalatnya ataukah tidak?”. Beliau menjawab: “jika lahn dalam membaca Al Fatihah itu tidak sampai mengubah makna maka sah shalatnya, baik ia imam atau munfarid. Semisal ia mengucapkan rabbil ‘alamin wadhallin atau semisalnya. Adapun bacaan semisal alhamdulillahi rabbul ‘alamin atau alhamdulillahi rabbal ‘alamin atau alhamdulullah dan alhamdilillah dengan lam di dhammah atau dal di-kasrah, atau juga ‘alaihim atau ‘alaihum atau semisal itu, ini semua tidak dianggap sebagai lahn. Adapun lahn yang mengubah makna, jika yang mengucapkan paham maknanya, semisal ia mengucapkan shiratalladzina an’amtu ‘alaihim dan ia paham bahwa dhamir di sini adalah mutakallim, maka tidak sah shalatnya. Jika ia tidak paham maknanya dan ia merasa bahwa dhamir-nya mukhathab maka ada khilaf mengenai keabsahan shalatnya. Wallahu a’lam”. (Al Fatawa Al Kubra, 2/185).

Al Lajnah Ad Daimah mengatakan: “jika anda ingin shalat, maka pilihlah imam yang bagus bacaannya. Jika anda tahu imam anda tidak bagus bacaannya, yaitu ia membacanya dengan lahn yang mengubah makna, semisal iyyaki na’budu dengan kaf di-kasrah atau an’amtu dengan ta ‘di dhammah atau di-kasrah, maka tidak boleh bermakmum padanya. Wajib bagi anda untuk memperingatkan dia, jika ia menerima alhamdulillah. Jika tidak, maka usahakan dengan sedemikian rupa agar ia diganti dengan imam yang lebih baik” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no.3193).

Hukum Ta’min

Ta’min yang dimaksud di sini adalah pengucapan “amin” setelah membaca Al Fatihah. “Amin” artinya “ya Allah kabulkanlah”. “Amin” ada dua bentuk, qashr (dibaca pendek) dan mad (dibaca panjang). Ibnu Manzhur menjelaskan:

وآمينَ وأَمينَ: كلمةٌ تقال في إثْرِ الدُّعاء؛ قال الفارسي: هي جملةٌ مركَّبة من فعلٍ واسم، معناه اللهم اسْتَّجِبْ لي



aamiin (dibaca panjang) dan amiin (dibaca pendek) adalah kata yang diucapkan di ujung doa. Al Farisi berkata, ia adalah kalimat yang tersusun atas fi’il dan isim, artinya ‘ya Allah kabulkanlah untukku’ (Lisanul ‘Arab).

Tidak ada khilaf diantara para fuqaha bahwa dalam shalat sirriyyah membaca “amin” hukumnya sunnah, baik bagi munfarid, imam maupun makmum (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 16/184). Adapun dalam shalat jahriyah, ketika imam mengeraskan bacaan Al Fatihah, ulama khilaf mengenai hukum membaca “amin” :

Pendapat pertama, hukumnya sunnah bagi imam, makmum dan munfarid. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Hanafiyah, dan juga salah satu pendapat Imam Malik. Mereka berdalil bahwa hukum asal ucapan ‘amin’ adalah sunnah baik di dalam maupun di luar shalat pada tempat-tempat yang mengandung doa. Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنوا ، فإنه من وافقَ تأمينُه تأمينَ الملائكةِ ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ من ذنبِه

“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410)

dalam hadits ini ditetapkan bahwa imam mengucapkan ‘amin’ dan makmum diperintahkan mengucapkan ‘amin’ jika imam mengucapkannya.

Pendapat kedua, tidak dianjurkan bagi imam atau munfarid, yang dianjurkan adalah makmum. Ini adalah salah satu pendapat Imam Malik dan salah satu pendapat Hanafiyah. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْل الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ

“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu ” (HR. Al Bukhari 782, 4475)

dalam hadits ini yang diperintahkan untuk membaca ‘amin’ adalah makmum. Mereka juga beralasan bahwa dalam hal ini imam atau munfarid adalah orang yang mengucapkan berdoa, maka yang berdoa tidak perlu mengucapkan ‘amin’.

Pendapat ketiga, wajib hukumnya bagi imam, makmum dan munfarid. Ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/112, Sifat Shalat Nabi lit Tharify 92-93).

Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yaitu pendapat pertama. Karena hadits,

إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو

“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”

adalah dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa imam dan makmum mengucapkan ‘amin’. Tidak mungkin hanya makmum saja. Dalam perspektif hadits ini, bagaimana mungkin makmum mengucapkan ‘amin’ jika imam tidak mengucapkannya? (Syarhul Mumthi, 3/67).

Hukum Mengeraskan Ta’min

Setelah mengetahui hukum ucapan ‘amin’, sekarang kita beralih pada masalah selanjutnya yaitu apakah bacaan ‘amin’ dikeraskan? Tidak ada khilaf diantara fuqaha bahwa ucapan ‘amin’ dibaca secara sirr (lirih) dalam shalat sirriyyah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/112). Namun mereka khilaf jika dalam shalat jahriyah:

Pendapat pertama: dianjurkan sirr (lirih). Ini adalah pendapat Malikiyyah dan Hanafiyah dan sebagian kecil Syafi’iyyah. Namun Malikiyyah hanya menganjurkan untuk makmum dan munfarid, sedangkan Hanafiyah menganjurkannya untuk makmum, munfarid dan imam. Alasan mereka adalah bahwa ucapan “amin” adalah doa, dan doa itu pada asalnya dibaca dengan sirr (lirih). Berdasarkan ayat:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً

“berdoalah kepada Rabb-Mu dengan penuh rasa tunduk dan suara lirih” (QS. Al A’raf: 55)

Pendapat kedua: dianjurkan jahr (keras), baik untuk makmum, munfarid maupun imam. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قَرأ وَلَا الضَّالِّينَ قال آمينَ ورَفع بها صوتَه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika membaca ‘waladhallin‘, kemudian beliau mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya” (HR. Abu Daud 932, Ad Daruquthni 1/687, An Nasa-i 878, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Sifat Shalat Nabi).

Pendapat ketiga: boleh sirr (lirih), boleh juga jahr (dikeraskan). Ini adalah pendapat Ibnu Bukair dan Ibnul ‘Arabi (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/113).

Jika kita kembalikan kepada dalil, maka dalil-dalil secara meyakinkan menunjukkan bahwa imam mengeraskan suaranya ketika mengucapkan “amin”. Sebagaimana hadits Wail bin Hujr radhiallahu’anhu, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah imam. Selain itu juga hadits,

إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو

“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”

Tidak mungkin makmum bisa melaksanakan perintah Nabi tersebut jika imam membaca ‘amin’ secara lirih dan tidak terdengar oleh makmum. Juga hadits Wa’il bin Hujr yang terdapat kalimat,

قال آمينَ ورَفع بها صوتَه

“beliau (Nabi) mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya”

Sedangkan dalil surat Al A’raf ayat 55 adalah dalil yang umum yang dikhususkan oleh hadits-hadits tersebut. Adapun untuk makmum, disinilah yang diperselisihkan. Oleh karena itu Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi mengatakan, “mengeraskan ‘amin’ untuk imam, haditsnya shahih tanpa keraguan. Adapun untuk makmum, tidak ada hadits yang sharih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (Sifat Shalat Nabi, 94). Yang ada adalah atsar dari sebagian sahabat Nabi, diantaranya Abdullah bin Zubair radhiallahu’anhu, Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha:

أَكَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يُؤَمِّنُ عَلَى إثْرِ أُمِّ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ وَرَاءَهُ، حَتَّى إنْ لِلْمَسْجِدِ لَلُجَّةً

“apakah Ibnu Zubair mengeraskan ucapan ‘amin’ setelah ummul Qur’an? Atha menjawab, iya dan para makmum mengucapkan amin juga. Sampai-sampai di masjid menjadi hingar-bingar” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 2/294, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah ketika menjelaskan hadits no.952).

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau biasa mengeraskan ucapan ‘amin’ ketika menjadi makmum dan memanjangkan bacaannya (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 87). Dengan demikian, wallahu a’lam, yang rajih bahwa makmum juga disunnahkan mengeraskan bacaan amin. Ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Sebagian ulama mengatakan, jika imam melirihkan bacaan ‘amin’ maka makmum tetap dianjurkan mengeraskan bacaan ‘amin’. Karena mengeraskan bacaan ‘amin’ adalah sunnah bagi imam dan makmum, anjuran itu tidak gugur hanya karena imam meninggalkannya, dan terkadang imam meninggalkannya karena lupa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 1/113).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “untuk munfarid, jika ia mengeraskan bacaan Al Fatihah maka ia juga dianjurkan mengeraskan bacaan ‘amin’”. Beliau juga mengatakan, “dan terkadang jika munfarid menimbang bahwa membaca dengan sirr itu lebih utama dan lebih khusyu dan lebih jauh dari riya maka dalam kondisi ini ada penghalang bagi dia untuk mengeraskan suaranya. Karena orang sekitarnya sedang tidur atau semisalnya. Maka jika ia melirihkan bacaan Al Fatihah-nya ia juga hendaknya melirihkan bacaan ‘amin’, tidak dikeraskan” (Syarhul Mumthi‘, 3/67-68).

Bila Mengucapkan “Amin”?

Untuk imam dan munfarid maka sudah jelas, mereka mengucapkan ‘amin’ setelah mengucapkan waladhallin. Namun untuk makmum, para ulama khilaf dalam masalah ini,

Pendapat pertama, ucapan “amin” makmum berbarengan dengan ucapan “amin” imam. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan pendapat mu’tamad Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits,

إذا قال أحدُكم آمين، قالتِ الملائكةُ في السماء آمين، فوافقت إحداهما الأخرى، غُفر له ما تقدم من ذنبه

“jika salah seorang diantara kalian mengucapkan ‘amin’, Malaikat pun mengucapkan ‘amin’. Maka jika ucapan ‘amin’ keduanya saling bersesuaian, maka orang tadi akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410).

Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, beliau mengatakan: “orang terdahulu ketika menjadi makmum mengucapkan ‘amin’ dengan jahr dan bersamaan dengan ucapan ‘amin’ imam. Serta tidak mendahului imam, tidak sebagaimana kebanyakan orang yang shalat di zaman sekarang. Juga tidak boleh terlalu telat dari ucapan amin imam. Inilah yang menjadi pendapatku yang terakhir dalam masalah ini” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 88).

Pendapat kedua, ucapan “amin” makmum setelah imam mengucapkan “amin”. Ini adalah salah satu pendapat dari Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits yang sama dengan lafadz lainnya,

إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنوا ، فإنه من وافقَ تأمينُه تأمينَ الملائكةِ ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ من ذنبِه

“jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’. Barangsiapa yang ucapan ‘amin’ nya sesuai dengan ucapan ‘amin’ Malaikat, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al Bukhari 780, 6402, Muslim 410)

dan semisalnya.

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, “hadits ini dalil bahwa makmum mengakhirkan ucapan amin dari ucapan ‘amin’ imam. Karena adanya tartib (urutan) yang ditunjukan oleh huruf fa” (Sifat Shalat Nabi, 93). Selain itu juga pada asalnya makmum tidak boleh menyamai imam sebagaimana telah dijelaskan oleh An Nawawi rahimahullah.

Yang lebih tepat adalah pendapat pertama, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, “mereka (yang berpendapat setelah ucapan ‘amin’ imam) mengatakan, ini sebagaimana sabda Nabi فإذا كَبَّرَ فكَبِّرو ‘jika imam bertakbir maka bertakbirlah‘, dan sudah diketahui bahwa makmum bertakbir setelah imam selesai bertakbir. Maka demikian juga إذا أمَّنَ الإمامُ فأمِّنو ‘jika imam mengucapkan ‘amin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin” maksudnya ucapan ‘amin’ makmum setelah imam selesai mengucapkan amin. Namun ini adalah argumen yang lemah. Karena telah ditegaskan dalam lafadz hadits yang lain:

إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ

“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”

demikian. Sehingga makna إذا أمَّنَ maksudnya adalah ‘jika imam sudah sampai pada waktunya untuk mengucapkan amin’, yaitu setelah mengucapkan waladhallin, atau maksudnya ‘jika telah tiba saat ketika ucapan amin disyariatkan’ maka ucapkanlah ‘amin’. Sehingga ucapan ‘amin’ bersamaan dengan imam (Syarhul Mumthi’, 3/69).

Ini adalah pengecualian dari larangan menyamai imam. Adapun jika makmum mengucapkan ‘amin’ lebih dahulu dari imam, maka kami tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat mengenai terlarangnya perbuatan ini

Berdoa Sebelum Ta’min?

Syaikh Wahid Abdussalam Bali dalam ceramahnya yang berjudul “akhtha’una fis shalah” beliau mengatakan: “sebagian orang yang shalat, ketika sampai pada bacaan ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin sebelum mengucapkan amin, sang imam berdoa secara lirih ‘allhumaghfirlii wa liwalidayya …‘ dan seterusnya kemudian imam dan makmum baru mengucapkan ‘amin’, sehingga seolah-olah makmum mengaminkan doa tersebut. Ini adalah sebuah kesalahan. Yang benar hendaknya imam tidak mengucapkan apa-apa hingga mengucapkan ‘amin’, kemudian makmum mengucapkan ‘amin’”.

Perbuatan ini bertentangan dengan hadits

إِذَا قَال الإمامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينَ

“jika imam mengucapkan ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhallin’ maka hendaknya ucapkanlah ‘amin’”

juga hadits

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قَرأ وَلَا الضَّالِّينَ قال آمينَ ورَفع بها صوتَه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika membaca ‘waladhallin‘, kemudian beliau mengucapkan ‘amin‘ dan mengangkat suaranya”

sehingga tidak disyariatkan membaca doa-doa diantara waladhallin dan ucapan ‘amin’. Lebih lagi, di dalam shalat banyak sekali tempat-tempat mustajab untuk berdoa yang disyariatkan semisal ketika rukuk, ketika sujud, ketika sebelum salam, dll, sehingga tidak perlu melakukannya di tempat-tempat yang tidak disyariatkan. Wallahu a’lam.

Demikian pembahasan ringkas mengenai bacaan Al Fatihah dalam shalat. Semoga bermanfaat. Wabillahi At Taufiq.


Referensi:

* Syarhul Mumthi’ ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
* Majmu’ Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
* Sifat Shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharify
* Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah
* Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, Syaikh Ibrahim Abu Syadi



1 Shalat yang bacaannya lirih, yaitu zhuhur dan ashar

2 Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shubuh, maghrib dan isya



Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Membaca Al Fatihah Dalam Shalat


Sudah kita ketahui bersama bahwa Al Fatihah adalah surat yang agung yang dibaca setiap Muslim dalam shalatnya. Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana hukum membaca Al Fatihah dalam shalat dan tata caranya.
Hukum Membaca Al Fatihah

Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ

“setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Jadi, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat dan inilah yang benar insya Allah.

Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)

Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya dalam hadits-hadits Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib di baca dalam shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna lafadz yang muthlaq kepada yang muqayyad.

Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:

في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ

“dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)

Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membacanya di setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).

Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum

Apakah status rukun dan hukum wajib membaca Al Fatihah itu berlaku untuk semua orang yang shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) mengatakan: “para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat:

Pendapat pertama: Al Fatihah tidak wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).

Pendapat kedua: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.

Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara mutlak, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah.

Pendapat keempat: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.” [selesai nukilan]

Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah dalam masalah ini berporos pada 3 hal:

Pertama: Adanya perintah untuk membaca Al Fatihah serta penafian shalat jika tidak membacanya

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab”

sabda beliau ‘tidak ada shalat‘ merupakan penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), jika tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan. Dan penafian keabsahan itu artinya penafian wujud secara syar’i. Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).

Syaikh Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘ jika kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin maksudnya penafian wujud (keberadaan). Sehingga jika ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak sah, karena tingkatan penafian yang kedua adalah penafian keabsahan, sehingga tidak sah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan oleh apapun. Maka pada asalnya, nash yang umum tetap pada keumumannya. Tidak bisa dikhususkan kecuali dengan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu dari 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Kedua: Adanya perintah untuk diam ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an

Diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).

Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau berkata: “para ulama ijma bahwa perintah yang ada dalam ini maksudnya di dalam shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini terdapat dalam Shahihain)

Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan ini adalah tambahan yang syadz, Abu Daud berkata: “tambahan ini ‘jika ia membaca ayat, maka diamlah‘ adalah tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya adalah Abu Khalid”. Sebagian ulama mengatakan tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebut tsabit, karena

- Abu Khalid perawi hadits tersebut adalah Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, ia statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “ia shaduq”, Ibnu Hajar berkata “shaduq yukhthi’”.
- Tambahan tersebut memiliki jalan lain dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
- Tambahan pada matan bisa menjadi syadz jika matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih banyak dan lebih tsiqah. Adapun tambahan tersebut tidak mengandung penyelisihan atau pertentangan terhadap periwayatan lain yang lebih tsiqah.

Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib diam mendengarkan imam membaca Al Fatihah dan ayat Al Qur’an.

Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para sahabat telah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu berkata:

كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب

“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang imam di dua rakaat pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).

Sehingga dalam shalat sirriyyah makmum tetap wajib membaca Al Fatihah secara lirih dan dalam hal ini masuk dalam keumuman hadits :

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Tarjih Pendapat

Syaikh Al Albani memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah. Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi bersabda:

لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها

“mungkin diantara kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)

Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:

هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ : إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ

“apakah diantara kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”

Lalu Abu Hurairah mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)

Beliau Shallallahu’alahi Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)

Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:

مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ

“barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”

(selesai nukilan perkataan Al Albani, dinukil dari Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 119-120).

Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum membaca bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr), pendapat yang paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca (secara jahr), maka ia wajib mendengarkan dan diam. Makmum tidak membaca Al Fatihah ataupun bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam membaca (karena dibaca secara sirr), maka ia wajib membaca Al Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah pendapat jumhur salaf dan khalaf. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas muridnya, juga salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i yang dikuatkan oleh sebagian muhaqqiq dari kalangan murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta murid-murid Imam Abu Hanifah yang lainnya” (Majmu’ Fatawa, 18/20).

Namun perlu kami tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang seharusnya kita mengormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib membaca Al Fatihah dalam semua shalat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa membaca Al Fatihah hukumnya tidak wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan makruh bagi makmum, maka ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil yang ada, sehingga tidak bisa kita toleransi.

(bersambung insya Allah)



1 Shalat yang bacaannya dilirihkan, yaitu shalat zhuhur dan ashar

2 Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shalat shubuh, maghrib dan isya



Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Isnin, 7 Julai 2014

Fadhilat Al-Ikhlas


Bismillahirahmannirahim...

1. Qul Huwallahu Ahad; Allahus-Samad; Lam Yalid Walam Yulad; Walam Yakul Lahu Kufuwan Ahad.

2. Qul Huwallahu Ahad; Allahus-Samad; Lam Yalid Walam Yulad; Walam Yakul Lahu Kufuwan Ahad.

3. Qul Huwallahu Ahad; Allahus-Samad; Lam Yalid Walam Yulad; Walam Yakul Lahu Kufuwan Ahad.

-------------------------------------

Tahniah..Anda Baru sahaja Membaca 3 kali Surah Al Ikhlas.. Barangsiapa Yang membaca Surah Al Ikhlas 3 kali.
Pahalanya sama sepert Membaca Al Quran 30 Juzuk.

KEHEBATAN SURAH AL-IKHLAS
'Au zubillah himinashsyaitan nirrajim...bismilla hirrahmannirrahim'
Tafsirannya:

Aku berlindung dengan Allah daripada syaitan yang direjam, Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani.

A) Bacalah ayat ini sebelum anda memulakan apa-apa saja kerja kerana dengan bacaan ini akan keluarlah iblis dan syaitan yang berada didalam tubuh kita dan juga di sekeliling kita, mereka akan berlari keluar umpama cacing kepanasan.

Sebelum anda masuk rumah, bacalah ayat di atas, kemudian bacalah surah Al-Ikhlas (iaitu ayat: Qulhuwallahu ahad. Allahussamad. Lamyalid walam yulad. Walam yakul lahu kufuwan ahad.) sebanyak 3 kali.
Masuklah rumah dengan kaki kanan dan dengan membaca bismillah.

Berilah salam kepada anggota rumah dan sekiranya tiada orang di rumah berilah salam kerana malaikat rumah akan menyahut. Amalkanlah bersolat kerana salam pertama (ianya wajib) yang diucapkan pada akhir solat akan membantu kita menjawab persoalan kubur.

Apabila malaikat memberi salam, seorang yang jarang bersolat akan sukar menjawab salam tersebut. Tetapi bagi mereka yang kerap bersolat, amalan daripada salam yang diucap di akhir solat akan menolongnya menjawab salam malaikat itu.

B) Diriwayatkan oleh Iman Bukhari sabda Nabi Muhammad s.a.w:
'Barang siapa membaca Qul huwa'llahu ahad 100,000 kali maka sesungguhnya ia telah menebus dirinya dari Allah, maka menyeru yang menyeru dari pihak Allah di langit dan di bumi. Kusaksikan bahwa sifulan itu telah menjadi pemendekaan Allah sesungguhnya ia adalah pemerdekaan dari sisi Allah, Sesungguhnya ia adalah pemerdekaan dari neraka'. Inilah yang dinamakan membaca Qulhua'llah ahad satu hatam yaitu 100,000 kali dengan diwiridkan seberapa ribu kesanggupan kita sehari.

C) Sabda Rasulullah S.A.W yang bermaksud; Barangsiapa membaca surah Al-Ikhlas sewaktu sakit sehingga dia meninggal dunia, maka dia tidak akan membusuk di dalam kuburnya, akan selamat dia dari kesempitan kuburnya dan para malaikat akan membawanya dengan sayap mereka melintasi titian siratul mustaqim lalu menuju ke syurga. (Demikian diterangkan dalam Tadzikaratul Qurthuby).

Rasulullah SAW pernah bertanya sebuah teka-teki kepada umatnya Siapakah antara Kamu yang dapat khatam Qur'an dalam jangka masa dua-tiga minit?

Tiada seorang dari sahabatnya yang menjawab. Malah Saiyidina Ummar telah mengatakan bahawa ianya mustahil untuk mengatam Qur'an dalam begitu cepat.

Kemudiannya Saiyyidina Ali mengangkat tangannya. Saiyidina Ummar bersuara kepada Saiyidina Ali bahawa Saiyidina Ali (yang sedang kecil pada waktu itu) tidak tahu apa yang dikatakannya itu.
Lantas Saiyidina Ali membaca surah Al-Ikhlas tiga kali.

Rasulullah SAW menjawab dengan mengatakan bahawa Saiyidina Ali betul. Membaca surah Al-Ikhlas sekali ganjarannya sama dengan membaca 10 jus kitab Al-Quran. Lalu dengan membaca surah Al-Ikhlas sebanyak tiga kali qatamlah Quran kerana ianya sama dengan membaca 30 jus Al-Quran.

D) Berkata Ibnu Abbas r.a. bahawa Rasulullah SAW telah bersabda:
Ketika saya (Rasulullah SAW) israk ke langit, maka saya telah melihat Arasy di atas 360,000 sendi dan jarak jauh antara satu sendi ke satu sendi ialah 300,000 tahun perjalanan.

Pada tiap-tiap sendi itu terdapat padang sahara sebanyak 12,000 dan luasnya setiap satu padang sahara itu seluas dari timur hingga ke barat. Pada setiap padang sahara itu terdapat 80,000 malaikat yang mana kesemuanya membaca surah Al-Ikhlas.

Setelah mereka selesai membaca Surah tersebut maka berkata mereka: Wahai Tuhan kami, sesungguhnya pahala dari bacaan kami ini kami berikan kepada orang yang membaca Surah Al-Ikhlas baik ianya lelaki mahupun perempuan.
Sabda Rasulullah SAW lagi:

Demi Allah yang jiwaku ditanganNya, sesungguhnya Qul Huwallahu Ahadu itu tertulis di sayap malaikat Jibrail a.s, Allahhus Somad itu tertulis di sayap malaikat Mikail a.s, Lamyalid walam yuulad tertulis pada sayap malaikat Izrail a.s, Walam yakullahu kufuwan ahadu tertulis pada sayap malaikat Israil a.s.

Roslin Ahmad

Isnin, 30 Jun 2014

Fadhilah (Keutamaan) Qiyamul Lail dan Shalat Tarawih


Secara umum, qiyamul lail adalah perkara yang sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Berikut beberapa fadhilah yang bersumber dari beberapa dalil dari ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan berbagai keutamaannya.



Pertama, qiyamul Lail adalah sifat seorang mukmin yang mewujudkan hakikat keimanannya.

Allah Ta’âlâ berfirman,

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ. تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.

“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang, apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Rabb-nya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka, sedang mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” [As-Sajadah: 15-16]



Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla memuji orang-orang yang sering menegakkan shalat pada malam hari sebagai hamba-hamba-Nya yang dimuliakan.

Allah Jalla Tsanâ`uhu berfirman,

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

“Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” [Al-Furqân: 64]



Ketiga, pemanfaatan akhir malam adalah kedisiplinan orang-orang yang bertakwa.

Allah Ta’âlâ menjelaskan,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ. آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ. كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan pada mata air-mata air, sambil mengambil sesuatu yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya, sebelumnya di dunia, mereka adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; Dan pada akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).” [Adz-Dzâriyât: 15-18]



Keempat, Allah membedakan kedudukan orang-orang yang mengerjakan shalat pada malam hari dan orang-orang yang tidak mengerjakan shalat.

Rabbul ‘Izzah berfirman,

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ.

“(Wahai orang musyrik, apakah kamu yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada malam hari dengan bersujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [Az-Zumar: 9]



Kelima, karena keutamaan qiyamul lail yang sangat besar, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menegakkan shalat malam tersebut.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا.

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk mengerjakan shalat) pada malam hari, kecuali sedikit (dari malam itu), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua itu, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur`ân itu dengan perlahan-lahan.” [Al-Muzzammil: 1-4]

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ

“Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat pada malam hari dan ketika bintang-bintang (saat fajar) terbenam.” [Ath-Thûr: 49]



Keenam, qiyamul lail adalah bekal untuk menghadapi hari kiamat, hari yang penuh dengan kesulitan.

Allah ‘Azza wa Jalla memerintah,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا. إِنَّ هَؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا. نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَشَدَدْنَا أَسْرَهُمْ وَإِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَا أَمْثَالَهُمْ تَبْدِيلًا.

“Dan pada sebagian malam, bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang saat malam hari. Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan tidak memedulikan kesudahan mereka pada hari yang berat (hari akhirat). Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka. Apabila menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka.” [Al-Insân: 26-28]

Mungkin dari makna ayat di atas, Imam Al-Auza’iy rahimahullah menyatakan, “Barangsiapa yang memperpanjang qiyamul lail, Allah akan memudahkannya (ketika) berdiri pada hari kiamat.” [1]



Ketujuh, Allah menjamin kedudukan yang terpuji untuk Nabi-Nya dengan pelaksanaan shalat tahajjud.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا.

“Dan pada sebagian malam, bertahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” [Al-Isrâ`: 79]



Kedelapan, orang-orang yang menegakkan qiyamul lail pada akhir malam tergolong ke dalam orang-orang yang memohon ampun pada waktu sahur. Allah telah memuji mereka dalam firman-Nya,

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ.

“(Yaitu) orang-orang yang berdoa, ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.’ (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun pada waktu sahur.” [Âli ‘Imrân: 16-17]



Kesembilan, shalat lail adalah shalat sunnah yang paling utama setelah shalat wajib.

Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Seutama-utama puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) bulan Allah, Muharram, dan seutama-utama shalat setelah (shalat) fardhu adalah shalat Lail.” [2]



Kesepuluh, sedekat-dekat keberadaan Allah terhadap hamba-Nya terhitung pada saat pelaksanaan shalat lail.

Dalam hadits ‘Amr bin ‘Abasah radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الرَّبُّ مِنَ الْعَبْدِ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُوْنَ مِمَّنْ يَذْكُرُ الله َفِيْ تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ

“Sedekat-dekat keberadaan Allah terhadap seorang hamba adalah pada pertengahan malam terakhir. Maka, kalau engkau mampu menjadi orang yang mengingat Allah pada saat itu, lakukanlah.” [3]



Kesebelas, shalat Lail termasuk penyebab yang menjadikan seseorang terhindar dari fitnah sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ,

اسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أَنْزَلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ وَمَاذَا فَتَحَ مِنَ الْخَزَائِنِ , أَيْقِظُوْا صَوَاحِبَاتِ الْحُجْرِ فَرُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٌ فِيْ الْآخِرِةِ

“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam terbangun pada suatu malam lalu bersabda, ‘Subhanallah terhadap segala sesuatu yang diturunkan pada malam ini berupa fitnah dan segala sesuatu yang dibuka berupa berbagai perbendaharaan. Bangunkanlah (para perempuan) pemilik kamar karena (mereka) kadang berpakaian di dunia, (tetapi) telanjang di akhirat.’.” [4]



Kedua belas, perhatian Nabi r terhadap shalat malam ini sebagai lambang hamba yang bersyukur.

‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertutur,

أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا

“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qiyamul lail sampai kedua kaki beliau pecah-pecah, maka saya bertanya, ‘Mengapa engkau melakukan ini, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang?’ Beliau pun menjawab, ‘Tidak (bolehkah) saya suka untuk menjadi hamba yang bersyukur?’.” [5]



Ketiga belas, keutamaan bagi suami istri yang menghidupkan shalat malam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ اللهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Allah merahmati seorang lelaki yang bangun pada malam hari lalu mengerjakan shalat dan membangunkan istrinya. Kalau istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajah (istri)nya. Allah merahmati seorang perempuan yang bangun pada malam hari lalu mengerjakan shalat dan membangunkan suaminya. Kalau suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajah (suami)nya.” [6]



Keempat belas, qiyamul lail adalah kemuliaan seorang mukmin sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكِ مَجْزِيٌّ بِهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ وَعِزَّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ

“Jibril datang kepadaku lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, hiduplah engkau sesukamu karena sesungguhnya engkau akan meninggal. Cintailah siapapun yang engkau sukai karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Beramallah dengan (amalan) yang engkau sukai karena engkau akan mendapatkan imbalannya. Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah shalatnya pada malam hari dan keagungannya adalah perasaan cukupnya terhadap (segala sesuatu yang berada di sisi) manusia.’.” [7]



Kelima belas, qiyamul lail adalah penggugur kejelekan dan pencegah perbuatan dosa sebagaimana dalam hadits Abu Umamah, dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah bersabda,

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ ، وَهُوَ قُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ

“Hendaknya kalian mengerjakan qiyamul lail karena (ibadah) itu adalah rutinitas orang-orang shalih sebelum kalian serta (ibadah) itu adalah hal yang mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, penggugur segala kesalahan, dan pencegah perbuatan dosa.” [8]



Keenam belas, qiyamul lail adalah salah satu hal yang mengakibatkan seorang hamba dimasukkan ke dalam surga. Dalam hadits Abdullah bin Salam radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الأَرْحَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.

“Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan kerjakanlah shalat pada waktu malam ketika manusia sedang tidur. Niscaya, kalian akan dimasukkan ke dalam surga dengan keselamatan.” [9]



Ketujuh belas, timbul kecemburuan terhadap orang yang mengerjakan qiyamul lail lantaran kebesaran pahala yang dia peroleh. Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ

“Tidak ada hasad, kecuali terhadap dua sifat: seorang lelaki yang Allah berikan Al-Qur`an kepadanya, maka dia pun mengerjakan qiyam dengan (Al-Qur`an) itu pada beberapa waktu saat malam dan siang hari, dan seorang lelaki yang Allah berikan harta kepadanya, maka dia pun menginfakkan (harta) itu pada beberapa waktu saat malam dan siang hari.” [10]



Kedelapan belas, orang yang mengerjakan shalat malam termasuk manusia terbaik. Nabi r bersabda,

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik seorang lelaki adalah Abdullah bin ‘Umar andaikata dia mengerjakan shalat malam.”[11]



Kesembilan belas, orang-orang yang mengerjakan shalat malam tergolong sebagai orang yang banyak berdzikir kepada Allah.

Dalam hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah r bersabda,

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seorang lelaki bangun tidur pada malam hari, kemudian membangunkan istrinya, lalu keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, keduanya telah ditulis sebagai golongan laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah.” [12]

Demikian beberapa keutamaan shalat lail.



Adapun pada bulan Ramadhan, shalat Lail adalah ibadah yang sangat dianjurkan dan lebih ditekankan. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan ibadah tersebut dalam sabdanya,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang qiyâm Ramadhan (berdiri untuk mengerjakan shalat pada malam Ramadhan) dengan keimanan dan pengharapan pahala, dosa-dosanya yang telah berlalu telah diampuni.” [13]

Imam An-Nawawy rahimahullâh berkata, “Yang dimaksud dengan qiyâm Ramadhan adalah shalat Tarawih.” [14]

Bahkan, Al-Kirmany menukil kesepakatan bahwa, dalam hadits di atas, yang dimaksud dengan qiyâm Ramadhan adalah shalat Tarawih. Namun, nukilan kesepakatan dari Al-Kirmâny tersebut dianggap aneh oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar karena kapan saja qiyamul lail dikerjakan pada malam Ramadhan dengan berjamaah (tarawih) atau tanpa berjamaah, hal yang diinginkan telah tercapai. Demikian makna keterangan Al-Hâfizh Ibnu Hajar.[15]

Selain itu, dalam hadits ‘Amr bin Murrah Al-Juhany radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

جَاءَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ ، وَصُمْتُ الشَّهْرَ ، وَقُمْتُ رَمَضَانَ ، وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ))

“Seorang lelaki dari Qudhâ’ah datang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau andaikata saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq, kecuali Allah, dan engkau rasul Allah, saya mengerjakan shalat lima waktu, saya berpuasa (pada) bulan (Ramadhan), saya melakukan qiyâm Ramadhan, dan saya mengeluarkan zakat?’ Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang meninggal di atas hal ini, ia termasuk sebagai para shiddîqîn dan orang-orang yang mati syahid.’.” [16]

Dalam hadits lain, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya seorang lelaki, apabila mengerjakan shalat bersama imam sampai selesai, terhitung mengerjakan qiyâm satu malam.” [17]

Tentang lailatul qadri, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berdiri (untuk mengerjakan shalat pada) malam lailatul qadri dengan keimanan dan pengharapan pahala, dosanya yang telah berlalu telah diampuni.” [18]

Wallahu A’lam.

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asâkir dalam Tarikh-nya 35/195.

[2] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1163, Abu Dâud no. 2429, At-Tirmidzy no. 438, dan An-Nasâ`iy 3/206-207.

[3] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/182, At-Tirmidzy 3588, An-Nasâ`iy 1/279, Ibnu Khuzaimah no. 1147, Al-Hâkim 1/453, Ath-Thabarâny dalam Musnad Asy-Syâmiyin no. 605, 1969 dan dalam Ad-Du’â` no. 128, Al-Baihaqy 3/4, serta Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 4/13, 22-23. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam beberapa buku beliau, dan Syaikh Muqbil, dalam Al-Jami’ Ash-Shahîh 2/171.

[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 115, 1126, 5844, 6218, 7069.

[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 4837 dan Muslim no. 2820 dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry no. 1130, 4836, 6471, Muslim no. 2819, At-Tirmidzy no. 412, An-Nasâ`iy 3/219, dan Ibnu Mâjah no. 1419 dari hadits Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallâhu ‘anhu.

[6] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/250, 437, Abu Dâud no. 1308, 1450, An-Nasâ`iy 3/205, Ibnu Mâjah no. 1336, Ibnu Khuzaimah no. 1148, Ibnu Hibbân no. 2567 -Al-Ihsân-, Al-Hâkim 1/453, dan Al-Baihaqy 2/501. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dan Syaikh Muqbil dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahîh 2/172.

[7] Dikeluarkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, As-Sahmy dalam Târîkh Al-Jurjân, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, Al-Qadha`iy, dan Abu Nu’aim. Dishahihkan oleh Al-Hâkim dan dihasankan oleh Al-Mundziry, Al-‘Iraqy, dan Al-Albâny. Bacalah Ash-Shahîhah no. 831. Uraian jalur-jalur periwayatannya dari tiga orang shahabat.

[8] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, dan selainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albâny dari seluruh jalan-jalannya. Baca pembahasan beliau dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 452.

[9] Diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Mâjah, dan Al-Hâkim. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Ash-Shahîhah no. 569.

[10] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.

[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Hafshah bin ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ.

[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Abu Dâud no. 1453, An-Nasâ`iy dalam Al-Kubrâ` 1/413, Ibnu Majah no. 1335, Ibnu Abid Dunyâ dalam At-Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 233, 426, Al-Âjurry dalam Fadhlut Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 20, Al-Bazzar 2/423/8281, Al-Harits bin Abi Usamah no. 239, Ibnu Hibban no. 2568-2569, Al-Hâkim 1/461, 2/452, dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubrâ` dan Syu’abul Îmân.

[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 37, 2008-2009, Muslim no. 759, Abu Dâud no. 1371, At-Tirmidzy no. 682, 807, dan An-Nasâ`iy 3/201, 4/154, 155, 156, 157, 8/117-118 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

[14] Syarh Muslim 6/38.

[15] Bacalah Fathul Bâry 4/251.

[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2212, Ibnu Hibbân sebagaimana dalam Al-Ihsân no. 3438, Ath-Thabarâny dalam Musnad Asy-Syâmiyin no. 2939, dan Al-Khathîb dalam Al-Jâmi’ li Akhlâq Ar-Râwy 2/207. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Qiyâm Ramadhân hal. 18.

[17] Hadits Abu Dzar dengan konteks yang panjang. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzâq 4/254, Ibnu Abi Syaibah 2/164, Ahmad 5/159, 163, Ad-Dârimy 2/42, Ibnul Jârûd no. 403, Abu Dâud no. 1375, At-Tirmidzy no. 805, An-Nasâ`iy 3/83, Ibnu Mâjah no. 1327, Ibnu Abid Dunyâ dalam At-Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 402, Ath-Thahâwy dalam Syarh Ma’âni Al-Atsâr 2/349, Ibnu Khuzaimah no. 2206, Ibnu Hibbân no. 2547, Al-Baihaqy 2/494 dan dalam Syu’abul Îmân 3/178-179, dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 8/112. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam Irwâ`ul Ghalîl 2/193/447, dan Syaikh Muqbil, dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahîh 2/175.

[18] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 35, 1901, 2014, Muslim no. 760, Abu Dâud no. 1372, At-Tirmidzy no. 682, dan An-Nasâ`iy 4/156, 157, 8/118 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

Dzulqarnain.net

Sabtu, 14 Jun 2014

syarah bacaan seputar solat


Doa Keluar Rumah untuk ke Masjid dan Selainnya (1)

Dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila seseorang keluar dari rumahnya kemudian membaca,

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

(Dengan Nama Allah, Saya bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan, kecuali hanya kepada Allah)

Akan dikatakan kepadanya, ‘Engkau telah mendapat hidayah, telah dicukupi, dan telah dilindungi.’ Para syaithan akan menjauh darinya sehingga syaitan lain berkata, ‘Bagaimana Engkau (mampu mengganggu) seorang lelaki yang telah diberi hidayah, dicukupi, dan dilindungi?’.”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan Ibnu Hibbân. Terdapat keterputusan dalam sanadnya, tetapi bisa dihasankan lantaran beberapa pendukungnya. Bacalah Takhrîj Ibnu Majah oleh Syu’aib Al-Arnâ`ûth no. 3885]

Penjelasan

Doa agung ini diajarkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar dibaca oleh setiap muslim dan muslimah jika mereka keluar dari rumahnya untuk menunaikan keperluan yang berkaitan dengan dunia maupun akhiratnya.

“Apabila seseorang keluar dari rumahnya”, maksudnya adalah apabila seseorang akan keluar atau sedang keluar dari rumahnya.

“Rumahnya” adalah rumah yang dia tinggali atau rumah yang dia singgahi saat safar.

“Bismillah” artinya adalah “dengan menyebut nama Allah, Saya keluar dari rumah”, merupakan permohonan kepada Allah Ta’âlâ agar seseorang dibantu dan diberi kemudahan ketika keluar dari rumahnya dan juga pada segala urusannya.

“Saya bertawakkal kepada Allah”, yakni “Saya bersandar kepada Allah dan menyerahkan segala urusanku kepada-Nya”.

Tawakkal merupakan amalan hati dan ibadah yang tidak diserahkan, kecuali hanya kepada Allah, sebagaimana firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” [Al-Mâ`idah: 23]

Tatkala tawakkal merupakan pokok ibadah dan keagungan tauhid. Seorang hamba yang bertawakkal kepada Allah Ta’âlâ pada segala urusannya, baik urusan dunia maupun akhirat, akan tercukupi oleh Allah Ta’âlâ pada segala keperluan dan kebahagiannya. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” [Ath-Thalâq: 3]

“Tiada daya dan kekuatan, kecuali hanya kepada Allah”.

Ini adalah kalimat agung yang menunjukkan ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah Ta’âlâ, kalimat yang menunjukkan kesadaran hamba bahwa tiada daya dalam menolak bahaya dan tiada kekuatan dalam meraih kebaikan, kecuali hanya dengan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla.

Tiada daya yang memindahkan hamba dari maksiat kepada ketaatan, dari sakit kepada kesehatan, dari kelemahan kepada kekuatan, dari kekurangan kepada kesempurnaan dan kecukupan, kecuali hanya kepada Allah. Sebagaimana, tiada kekuatan dalam menegakkan suatu ibadah, dalam menyelesaikan urusan, meraih tujuan, dan menggapai segala yang diperlukan, kecuali hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Telah sah sejumlah dalil yang menunjukkan keutamaan dan keagungan kalimat lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh ini.

Dalam doa ini disebutkan penggabungan tiga perkara agung: (1) mengambil pertolongan dengan menyebut nama Allah, (2) bertawakkal kepada Allah, dan (3) berlepas diri dari segala daya dan upaya, kecuali hanya kepada Allah.

Tiga hal ini memberi tiga pengaruh indah pula bagi seorang hamba. Siapa saja yang membaca doa ini ketika keluar rumah, berarti:

(1) “Engkau telah mendapat hidayah”, yaitu diberi hidayah kepada hal yang benar karena memohon pertolongan kepada Allah.

(2) “Telah dicukupi”, yaitu telah dicukupi pada segala perkara dunia maupun akhiratnya karena dia bertawakkal kepada-Nya.

(3) “Dan telah dilindungi”, yaitu dijaga dari segala hal yang membahayakan, berupa gangguan syaithan, musuh, binatang berbisa, dan segala bahaya lainnya.

Pada akhir hadits, dijelaskan bahwa syaithan telah putus asa dari mengganggu dan menyesatkan hamba yang membaca doa keluar rumah tersebut.

Kandungan dan manfaat hadits:

1.Terdapat syariat dan anjuran membaca doa ini setiap keluar rumah.
2.Urgensi basmalah.
3.Urgensi tawakkal.
4.Urgensi ucapan lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh.
5.Pentingnya doa untuk penjagaan diri.
6.Seorang hamba tidak mungkin lepas dari Rabb-nya, walaupun sekejap mata. Dia perlu pertolongan dan perlindungan Allah pada segala keadaan.
7.Penyebutan salah satu sebab datangnya hidayah.
8.Penyebutan salah satu sebab kecukupan Allah untuk seorang hamba.
9.Penyebutan salah satu sebab penjagaan dan perlindungan Allah untuk seorang hamba.
10.Syaithan selalu mengintai manusia pada segala keadaan dan bersama aliran darah manusia.
11.Syaithan menjauh dari siapa saja yang membaca doa ini.
12.Dzikir, jika dibaca dengan menghayati maknanya, adalah salah satu jalan untuk mengusir syaithan dan menghindarkan diri dari gangguan syaithan.
13.Para syaithan bekerjasama dalam menyesatkan dan menjauhkan manusia dari kebaikan.
14.Doa di atas mengandung makna iyyâka na’budu waiyyaka nasta’în.

Bacalah penjelasan hadits ini dalam Syarh Riyâdh Ash-Shâlihîn 1/565-567 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Kâsyif ‘An Haqâ`iq As-Sunan 6/1905 karya Ath-Thîby, Mirqatul Mafâtîh 5/354 karya Ali Qâri`, Fiqh Al-‘Ad’iyah wa Al-Adzkâr 3/96-98 karya Dr. Abdurrazzaq Al-Badr, dan Syarh Hishnul Muslim hlm. 69-71.

http://dzulqarnain.net

Syarah Bacaan Seputar Solat


Doa Keluar Rumah untuk ke Masjid dan Selainnya (2)
Dari Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam apabila keluar rumah, membaca,

بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نَزِلَّ أَوْ نَضِلَّ، أَوْ نَظْلِمَ أَوْ نُظْلَمَ، أَوْ نَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيْنَا

“Dengan Nama Allah, Saya bertawakkal kepada Allah. Ya Allah, Saya berlindung kepada-Mu (agar jangan sampai) Kami tergelincir atau tersesat, berlaku zhalim atau dizhalimi, dan berlaku jahil atau dijahili.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan dengan lafazh,

اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Ya Allah, Saya berlindung kepada-Mu (agar jangan sampai) Saya tersesat atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, berlaku zhalim atau dizhalimi, dan berlaku jahil atau dijahili.”

[Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Ash-Shahîhâh no. 3163]


Penjelasan

Hadits di atas juga menjelaskan doa yang biasa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam baca apabila keluar rumah. Di dalam hadits, terdapat makna-makna agung yang patut diperhatikan. Namun, jika diperhatikan, terdapat kesamaan antara hadits ini dan hadits sebelumnya dalam maksud dan tujuan.

“Apabila beliau keluar rumah”, maksudnya adalah rumah yang dia tinggali atau rumah persinggahan.

“Dengan nama Allah”, yakni “Saya keluar rumah dengan memohon pertolongan kepada Allah.”

“Saya bertawakkal kepada Allah”, yaitu “Saya bersandar dan menyerahkan segala urusanku kepada Allah.”

“Ya Allah”, yakni memanjatkan dengan menyebut nama Allah. Dimaklumi bahwa Kita diperintah untuk berdoa dengan menyebut Al-Asma` Al-Husna sebagaimana dalam firman Allah Ta’âlâ,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah Al-Asma` Al-Husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut (Al-Asma` Al-Husna.” [Al-A’râf: 180]

Mendahului doa atau menyertai doa dengan menyebut Al-Asma` Al-Husna yang mencocoki doa adalah salah satu sebab terkabulnya doa sebagaimana tampak dalam berbagai konteks doa yang disebutkan dalam Al-Qur`an maupun hadits.

“Ya Allah, Saya berlindung kepada-Mu”. Berlindung kepada Allah adalah berpegang kepada Allah dan memohon penjagaan dari-Nya. Di dalam doa ini, seseorang memohon kepada Allah untuk dilindungi dari beberapa perkara:

(1) “(Agar jangan sampai) Kami tergelincir”. Ketergelinciran adalah seseorang keluar dari jalan istiqamah tanpa dia sadari.

(2) “Dan (agar jangan sampai) kami tersesat”, yakni “Jauhkanlah Saya dari perkara yang mengeluarkan dari hidayah.” Kesesatan adalah lawan dari hidayah. Terdapat makna permohonan agar terjaga di atas hidayah dengan dihindarkan dari kesesatan.

(3) “Berlaku zhalim atau dizhalimi”. Kezhaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Kezhaliman mencakup dosa kesyirikan, dosa antara hamba dan Allah -selain kesyirikan-, dan dosa antara sesama makhluk.

Saya berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk tidak menzhalimi orang lain dan berlaku zhalim kepada dirinya terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.

Sebagaimana, Saya berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar jangan sampai ada di Antara makhluk yang menzhalimiku dalam jiwa, harta, dan kehormatanku.

(4) “Dan berlaku jahil dan dijahili,” yaitu jahil terhadap perkara agama, hak-hak Allah, hak-hak manusia, mengenal Allah, dan interaksi dengan manusia. Berlaku jahil juga bisa bermakna berbuat perbuatan orang-orang jahil dalam bentuk mengganggu dan membahayakan orang lain.

Juga, Kami berlindung agar jangan sampai ada orang-orang jahil yang berbuat jahil dengan memberi gangguan dan bahaya kepada Kami.

Pada lafazh hadits yang lain disebutkan,

“Ya Allah, Saya berlindung kepada-Mu agar jangan sampai Saya tersesat atau disesatkan.”

Telah berlalu makna “disesatkan”. Adapun berlindung agar jangan sampai disesatkan, maknanya adalah “Saya berlindung kepada Allah agar jangan sampai ada dari kalangan syaithan, jin, dan manusia yang membuatku tersesat dari jalan lurus.”

“Tergelincir atau ditergelincirkan” yaitu jangan sampai Saya tergelincir oleh diriku sendiri atau dibuat tergelincir oleh orang lain.



Kandungan dan manfaat hadits:

Terdapat syariat dan anjuran membaca doa ini setiap keluar rumah.
Urgensi basmalah.
Urgensi tawakkal.
Berlindung kepada Allah Ta’âlâ dari perkara-perkara yang membawa bahaya terhadap diri sendiri dan membahayakan orang lain.
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari kesesatan.
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari ketergelinciran.
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari kezhaliman.
Memohon perlindungan kepada Allah Ta’âlâ dari kejahilan.
Seseorang tidak hanya memikirkan cara agar dia selamat dari kezhaliman dan gangguan orang lain, tetapi juga mesti menjaga diri untuk tidak mengganggu dan menzhalimi orang lain.
Doa ini menggabungkan antara memohon pertolongan kepada Allah Ta’âlâ dan memohon sebab-sebab yang mendatangkan pertolongan tersebut atau berlindung dari hal-hal yang bisa menjauhkannya dari pertolongan Allah Ta’âlâ.



Bacalah penjelasan hadits ini dalam Syarh Riyâdh Ash-Shâlihîn 1/565-567 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Kâsyif ‘An Haqâ`iq As-Sunan 6/1904-1905 karya Ath-Thîby, Faidhul Qadîr 5/123 karya Al-Manâwy, Mirqatul Mafât2h 5/352-354 karya Ali Qâri`, Fiqh Al-‘Ad’iyah wa Al-Adzkâr 3/100-103 karya Dr. Abdurrazzaq Al-Badr, dan Syarh Hishnul Muslim hlm. 71-72

dzulqarnain.net