Sabtu, 10 Disember 2011

MENGENAL JENIS ZIKIR


Ada pelajaran yang amat menarik dari Ibnul Qayyim rahimahullah. Dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib, juga kitab beliau lainnya yaitu Madarijus Salikin dan Jala-ul Afham dibahas mengenai berbagai jenis zikir. Dari situ kita dapat melihat bahwa zikir tidak terbatas pada bacaan zikir seperti tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu akbar) saja. Ternyata zikir itu lebih luas dari itu. Mengingat-ingat nikmat Allah juga termasuk zikir. Begitu pula mengingat perintah Allah sehingga seseorang segera menjalankan perintah tersebut, itu juga termasuk zikir. Selengkapnya silakan simak ulasan berikut yang kami sarikan dari penjelasan beliau rahimahullah.

Zikir itu ada tiga jenis:

Jenis Pertama:

Zikir dengan mengingat nama dan sifat Allah serta memuji, mensucikan Allah dari sesuatu yang tidak layak bagi-Nya.

Zikir jenis ini ada dua macam:

Macam pertama: Sekedar menyanjung Allah seperti mengucapkan “subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar”, “subhanallah wa bihamdih”, “laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir”.

Zikir dari macam pertama ini yang utama adalah apabila zikir tersebut lebih mencakup banyak sanjungan dan lebih umum seperti ucapan “subhanallah ‘adada kholqih” (Maha suci Allah sebanyak jumlah makhluk-Nya). Ucapan zikir ini lebih afdhal dari ucapan “subhanallah” saja.

Macam kedua: Menyebut konsekuensi dari nama dan sifat Allah atau sekedar menceritakan tentang Allah. Contohnya adalah seperti mengatakan, “Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan hamba-Nya”, “Allah Maha Melihat segala gerakan hamba-Nya, “tidak mungkin perbuatan hamba yang samar dari  penglihatan Allah”, “Allah Maha menyayangi hamba-Nya”, “Allah kuasa atas segala sesuatu”, “Allah sangat bahagia dengan taubat hamba-Nya.”

Dan sebaik-baik zikir jenis ini adalah dengan memuji Allah sesuai dengan yang Allah puji pada diri-Nya dan memuji Allah sesuai dengan yang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji-Nya, yang di mana ini dilakukan tanpa menyelewengkan, tanpa menolak makna, tanpa menyerupakan atau tanpa memisalkan-Nya dengan makhluk.

Jenis Kedua:

Zikir dengan mengingat perintah, larangan dan hukum Allah.

Zikir jenis ini ada dua macam:

Macam pertama: Mengingat perintah dan larangan Allah, apa yang Allah cintai dan apa yang Allah murkai.

Macam kedua: Mengingat perintah Allah lantas segera menjalankannya dan mengingat larangan-Nya lantas segera menjauh darinya.

Jika kedua macam zikir (pada jenis kedua ini) tergabung, maka itulah sebaik-baik dan semulia-mulianya zikir. Zikir seperti ini tentu lebih mendatangkan banyak faedah. Zikir macam kedua (pada jenis kedua ini), itulah yang disebut fiqih akbar. Sedangkan zikir macam pertama masih termasuk zikir yang utama jika benar niatnya.

Jenis ketiga:

Zikir dengan mengingat berbagai nikmat dan kebaikan yang Allah beri.

Zikir dengan Hati dan Lisan

Zikir bisa jadi dengan hati dan lisan. Zikir semacam inilah yang merupakan seutama-utamanya zikir.

Zikir kadang pula dengan hati saja. Ini termasuk tingkatan zikir yang kedua.

Zikir kadang pula dengan lisan saja. Ini termasuk tingkatan zikir yang ketiga.

Sebaik-baik zikir adalah dengan hati dan lisan. Jika zikir dengan hati saja, maka itu lebih baik dari zikir yang hanya sekedar di lisan. Kerana zikir hati membuahkan ma’rifah, mahabbah (cinta), menimbulkan rasa malu, takut, dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Sedangkan zikir yang hanya sekedar di lisan tidak membuahkan hal-hal tadi.

Pelajaran

Jika kita perhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim di atas, dapat kita simpulkan bahwa duduk di majelis ilmu yang membahas bagaimana mengenal Allah melalui nama dan sifat-Nya, bagaimana mengetahui secara detail hukum-hukum Allah berupa perintah dan larangan-Nya, itu semua termasuk zikir. Bahkan jika sampai ilmu itu membuahkan seseorang bersegera taat pada Allah dan menjauhi larangan-Nya, itu bisa menjadi zikir yang utama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim sebagai fiqih akbar.

Namun jika sekedar mengilmuinya saja, itu pun sudah termasuk zikir. Itu berarti bukan suatu hal yang sia-sia jika seseorang berlama-lama duduk di majelis ilmu untuk mendengarkan nasehat para ulama yang di mana di dalamnya dibahas hal yang lebih detail tentang Allah, dibahas pula berbagai perintah dan larangan-Nya. Ini sungguh merupakan zikir yang amat utama.

Semoga Allah menganugerahkan pada kita semangat dan keistiqamahan untuk terus belajar dan tidak lalai dari zikir pada-Nya.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

PUASA SUNNAH DALAM SETAHUN


Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat".

 Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).

Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan darjat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).

[1] Adapun amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).

Pada kesempatan kali ini, Kita cuba mengangkat pembahasan puasa sunnah yang biasa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.

Puasa Isnin Khamis:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)

Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah:

Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)

Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan). Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)

Puasa Daud:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)

Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.”[3]

Puasa di Bulan Sya’ban:

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156). Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada majoriti harinya (bukan seluruh harinya[4]) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[5] Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[6]

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Puasa di Awal Dzulhijah:

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut membolehkan shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan soleh lainnya.[7] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[8], …” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).

Puasa ‘Arafah:

Puasa ‘Arafah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapuskan dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arafah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,  “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arafah. Ketika itu beliau disugukkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).

Puasa ‘Asyura:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara solat yang paling utama setelah solat wajib adalah solat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[9]

Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad  di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).

Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah:

Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”

Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.[10]

Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak boleh hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[11] Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”[12]

Semoga Allah beri taufik untuk beramal soleh.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat Al furqon baina awliyair rohman wa awliyaisy syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 51, Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1424 H.
[2] Hari ini disebut dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.

[3] Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H

[4] Karena kadang kata seluruh (kullu) dalam bahasa Arab bermakna mayoritas.

[5] Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh.

[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.

[7] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.

[8] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.

[9] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55.

[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.

[11] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115.

[12] Idem.

NASEHAT UNTUK SUAMI ISTERI


Segala puji bagi Allah.  Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah Salallaahu 'Alayhi Wassalam, para keluarga dan para sahabat beliau, serta kepada orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau sampai hari pembalasan.

Sesungguhnya Allah telah memberikan ni’mat kepada hamba-hamba-Nya dengan disyari’atkannya perkawinan, karena di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak dan impak yang baik.

Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-rum: 21).

Perkawinan merupakan batu-bata (bahan bangunan) yang baik untuk membangun keluarga yang soleh dalam masyarakat.  Islam telah mengatur kehidupan suami-isteri dengan suatu sistem yang indah dari Rabb yang Maha bijaksana dan Maha mengetahui.  Islam telah memberikan penjelasan tentang ukuran-ukuran kehidupan suami-isteri yang bahagia yang menghantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Para suami isteri yang muslim –semoga Allah memberi taufiq kepada anda berdua untuk setiap kebaikan- hendaknya mengetahui, bahwa mewujudkan kebahagiaan ini merupakan sesuatu yang mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. At-thalaq: 4).

Mereka hanya dituntut untuk bertakwa kepada Allah dengan seluruh makna yang terkandung dalam kata takwa tersebut, karena takwa kepada Allah merupakan dasar untuk setiap kebaikan.

Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. At-Taubah : 109).

Para suami-isteri hendaknya menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya bagi mereka, dan memperhatikan untuk melakukan pergaulan yang ma’ruf antara keduanya. Pada saat itu akan tercipta kebahagiaan suami isteri dengan pertolongan Allah.  Keduanya akan memetik buahnya yang indah, dan anak-anak akan terdidik bersama dua orang soleh dan bahagia.

Dengan demikian akan tumbuh suatu keluarga yang baik, sebagaimana akan tumbuh suatu masyarakat muslim yang bahagia. Segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita berupa hukum-hukum syari’at yang tinggi yang menghantarkan kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sebagai penutup, saya berikan kepada pasangan suami-isteri suatu hadiah yang diambil dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah SalAllaahu 'Alayhi Wassalam.  Semoga hadiah ini –dengan pertolongan Allah dan taufiqNya- akan menjadi cahaya yang menyinari mereka berdua.

Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman tentang beberapa sifat para hamba-Nya:
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Rabb  kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).

Dari Abu Hurairah r.a  berkata:  Rasulullah Salallaahu 'Alayhi Wassalam bersabda:  “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik terhadap para isterinya.” (HR. Turmizi, ia berkata: hadits hasan shahih).

Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi Salallaahu 'Alayhi Wassalam, beliau bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Amir adalah pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin keluarganya. Orang perempuan adalah pemimpin rumah dan anak-anak suaminya. Maka setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya.” (Muttafaq alaih).

Saya memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'alaa agar memberi taufiq kepada setiap suami-isteri yang muslim menuju setiap hal yang dicintai dan diredhai-Nya, menjadikan keduanya bahagia di dunia dan akhirat, dan memberikan kepada mereka keturunan yang baik, serta menjadikan keturunan tersebut berbakti dan sedap di pandang oleh kedua orang tua mereka.


 Sesungguhnya Rabbku Maha dekat, Maha mengabulkan dan Maha mendengarkan do’a.