Selasa, 30 Januari 2018

DASAR-DASAR TAUHID: MENGENAL ALLAH



Definisi dan Urgensi Makrifat

Salah satu unsur terpenting dari keimanan adalah makrifat (mengenal) terhadap semua hal yang berkaitan dengan aqidah (keimanan). Misalnya, makrifat kepada Allah, Rasulullah saw, malaikat, Nabi dan Rasul, hari akhir, qadla qadar, dan lain sebagainya.

Secara bahasa, makrifat bermakna mengenal dan mengetahui (‘ilm). Namun, yang dimaksud dengan makrifat dalam konteks pembahasan ‘aqidah adalah pembenaran (tashdiq) yang bersifat pasti terhadap suatu perkara.

Menurut Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fikih, makrifat adalah “i’tiqaad al-jaazim” (keyakinan pasti), sama saja apakah keyakinan itu diperoleh dengan jalan taqlid (i’tiqaad taqliidiyyan) maupun dari ilmu (keyakinan) yang bersumber dari dalil. Dan mayoritas di antara mereka menghukumi muqallid (dalam hal iman) sebagai seorang Muslim. Sebagian lagi mengartikan makrifat dengan ilmu (keyakinan) yang lahir dari istidlaal (penalaran terhadap dalil). [1]

Di dalam Kitab al-Ta’riifaat disebutkan, “al-‘ilmu adalah I’tiqaad al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ (ilmu (keyakinan) adalah keyakinan pasti yang sejalan dengan realitas)”…Ada pula yang mendefinisikan ilmu dengan memahami hakekat yang terkandung di dalam sesuatu”. Ada pula yang mengartikannya dengan hilangnya kesamaran dari sesuatu yang hendak diketahui; dan lawannya adalah al-jahlu (kebodohan)”.[2]

Imam al-Jurjani di dalam kitab al-Ta’rifaat menyatakan, “Secara literal, iman adalah tashdiiq al-qalb (pembenaran dalam hati). Sedangkan menurut syariat, iman adalah al-i’tiqaad bi al-qalb wa al-iqraar bi al-lisaan (keyakinan dalam hati dan diucapkan dengan lisan)”.[3]

Keimanan tidak akan mungkin terbentuk secara sempurna di dalam diri seseorang sebelum ia makrifat terhadap apa yang diyakininya itu. Atas dasar itu, makrifat terhadap perkara-perkara yang wajib diimani merupakan syarat sempurnanya iman. Atas dasar itu, para ulama mendefinisikan iman (aqidah) dengan pembenaran yang bersifat pasti. Perhatikan pendapat-pendapat ulama berikut ini mengenai definisi iman.

Di dalam Kitab al-Wajiz fii ‘Aqiidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa’ah dinyatakan, “Secara istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan menentramkan jiwa, sehingga perkara-perkara tersebut menjadi sebuah keyakinan yang tidak disusupi oleh keraguan dan bercampur dengan persangkaan (al-syakk). Dengan kata lain, ‘aqidah adalah keimanan pasti (al-iiman al-jaazim) yang tidak dihinggapi keraguan pada diri orang yang menyakininya; dan ia harus sesuai dengan kenyataan, tidak mengandung keraguan dan persangkaan. Dan jika sebuah keyakinan tidak mencapai taraf al-iiman al-jaazim (iman yang pasti), maka perkara itu tidak dinamakan dengan aqidah. Disebut ‘aqidah karena, manusia akan mengikatkan hatinya kepada perkara tersebut (aqidah)”[4].

Prof Mahmud Syaltut menyatakan, “Aqidah adalah sudut pandang yang harus diimani pertama kali, sebelum mengimani yang lain, dengan keimanan yang tidak disusupi keraguan, dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran. Secara tabi’iy, ‘aqidah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang jelas (qath’iy) yang jumlahnya sangat banyak (mutawatir)..”.[5]

Makrifat Kepada Allah

Makrifat kepada Allah, adalah membenarkan secara pasti (tashdiiq al-jaazim) terhadap Wujud (Eksistensi), Dzat, Shifat, dan Nama-namaNya. Setiap Mukmin wajib menyakini (membenarnya secara pasti) bahwa Allah swt adalah Esa, Hidup, Mendengar, Melihat, Mengetahui, Mutakallim (Berfirman), dan semua Shifat Allah yang terdapat di dalam al-Quran maupun hadits-hadits mutawatir.

Berikut ini adalah pokok-pokok keimanan (makrifat) kepada Allah swt.

Beriman Kepada Wujudnya Allah (Eksistensi)
Wujud Allah bisa dibuktikan berdasarkan akal. Bukti akal yang menunjukkan eksistensi Allah swt adalah penciptaan alam semesta, manusia, dan kehidupan. Adanya makhluk, yang berujud alam semesta, kehidupan, dan manusia menunjukkan secara pasti keberadaan Sang Pencipta, yakni Allah swt. Pasalnya, sesuatu yang tercipta (makhluk) tidak mungkin tercipta dengan sendirinya, atau kebetulan ada, tanpa keberadaan Sang Pencipta. Atas dasar itu, keberadaan Sang Pencipta merupakan keniscayaan bagi adanya makhluk (yang diciptakan).

Adanya makhluk dengan aturan-aturannya yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait, dan begitu kompleks menunjukkan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan ciptaan dari Sang Khaliq. Kenyataan ini juga memustahilkan anggapan bahwa alam semesta ini tercipta secara kebetulan, tanpa membutuhkan Sang Pencipta (Allah swt). Jika makhluk tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.

Di dalam al-Quran, Allah SWTtelah menyitir masalah penciptaan ini di dalam firmanNya:

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” ( QS. Ath-thur : 35).

Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah I.

Beriman Kepada Rububiyah Allah
Beriman kepada Rububiyah Allah maksudnya adalah, beriman sepenuhnya bahwa Dialah Robb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagiNya; dan Dialah Dzat yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah SWTtelah berfirman yang artinya :

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-A’raf : 54).

ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ

“…Yang (berbuat) demikian itulah Allah Robbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir : 13).

Hanya orang-orang sombong dan congkak saja yang tidak pernah mengimani Kerububiyahan Allah I; seperti yang dilakukan fir’aun ketika berkata kepada kaumnya : “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” ( QS. An-Naziat : 24), dan juga ketika berkata : “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” ( QS. Al-Qashash : 38)

Allah SWTberfirman yang artinya :

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ

“Dan mereka mengingkarinya karena kezdaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (QS. An-Naml : 14).

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَؤُلاء إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي لأَظُنُّكَ يَا فِرْعَونُ مَثْبُورًا

“Nabi Musa berkata kepada Fir’aun: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Robb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai fir’aun, seorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isra’ : 102).

Oleh karena itu, menurut ulama tauhid, orang-orang musyrik sebenarnya mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukanNya dalam uluhiyah (peribadahan).

Allah SWT berfirman, artinya;

“Katakanlah : Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? “Mereka akan menjawab : “kepunyan Allah”. Katakanlah : “siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya Arsy yang besar?” mereka menjawab : “kepunyaan Allah.” Katakanlah : “Maka apakah kamu tidak bertakwa? “Katakanlah : “Siapakah yang di tanganNya berada kekusaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)Nya, jika kamu mengetahui?” mereka akan menjawab : “kepunyaan Allah.” Katakanlah : “(kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” ( QS. Al-Mu’minun : 84-89).

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab, “Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” ( QS. Az-Zukhruf : 9).

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab : “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf : 87).

Sedangkan Perintah Allah SWT mencakup perintah atas alam semesta (kauni) dan perintah atas syariat. Artinya, Dialah Allah, Dzat Pengatur alam, sekaligus sebagai Pemutus seluruh perkara sesuai dengan tuntutan hikmahNya. Dia juga Pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmahNya. Oleh karena itu, siapa saja yang menyakini bahwa Allah memiliki sekutu dalam hal memutuskan aturan ibadah dan muamalat, berarti, ia berarti telah menyekutukan Allah dan tidak beriman kepadaNya.

Beriman Kepada Uluhiyah Allah SWT.
Tauhid belum sempurna dengan sekedar pengakuan atas tauhid rububiyyah dan asma’ wa shifat. Sebab, kedua tauhid ini dapat dianggap sebagai sekedar teori tauhid. Agar ‘tauhid teoritis’ ini menjadi sempurna, ia harus melibatkan tujuan dan sasaran dari tauhid, yakni penyembahan hanya kepada Allah swt.[6] Ketika menjelaskan tauhid uluhiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, “Tidak ada kebahagian, dan keselamatan bagi seorang hamba kecuali selalu mengikuti Rasulullah saw. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, ia akan dimasukkan ke surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Yang demikian itu adalah kemenangan yang sangat agung. Akan tetapi, siapa saja yang maksiyat kepada Allah dan RasulNya dan melanggar ketetapan-ketetapan Allah, maka ia akan dimasukkan ke neraka. Ia akan mendapatkan siksa yang sangat pedih. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluq agar mereka menyembah (beribadah) kepadaNya. Allah swt berfirman, artinya, Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [al-Dzariyat:56] Bentuk ibadah mereka kepada Allah adalah dengan cara mentaati Allah dan RasulNya. Tidak ada ibadah kecuali apa yang telah diwajibkan dan diridloi oleh agama Allah.[7]

Banyak bukti menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Mekah pada masa Nabi saw mempercayai ketuhanan Allah sebagai Pencipta sekaligus mempercayai pula berbagai sifat-sifatNya. Namun demikian, mereka tetap disebut sebagai orang musrik. Allah swt berfirman, artinya, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka akan menjawab,”Allah”. Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan dari jalan yang benar.”[al-‘Ankabuut:61] “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab,”Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya.”[al-‘Ankabut:63].

Ibadah dalam Islam bermakna penyerahan diri kepada Allah yang diwujudkan melalui kepatuhan pada hukum-hukum Allah swt[8]. Berpegang teguh atau lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia lebih dari hukum Allah merupakan kesyirikan dalam tauhid al-‘ibadah. Allah telah berfirman di dalam al-Quran, artinya, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.”[al-An’am:57] “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir.”[al-Maidah 44]

Ketika Rasulullah saw membacakan ayat al-Quran, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”[at-Taubah 31], Adiy bin Hatim menyatakan bahwa (orang-orang Yahudi dan Nashrani) tidak menyembah kepada rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka, akan tetapi mereka juga menyembah kepada Allah. Pernyataan ini ditangkis Rasulullah saw dengan pernyataan beliau, “Akan tetapi rahib-rahib dan pendeta itu telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, kemudian mereka mengikutinya.”[9] Ini menunjukkan bahwa, sekedar menyakini Allah swt dari sisi rububiyyah dan asma’ wa shifat, tidak akan mampu menyelamatkan seseorang dari kekafiran, sampai ia mengesakan Allah dalam hal penyembahan (tauhid uluhiyyah); dengan jalan menyakini bahwa hukum Allah adalah satu-satunya hukum yang berhak ditaati dan diikuti.

Atas dasar itu, menyakini bahwa hukum Allah swt sebagai satu-satunya hukum yang berhak mengatur kehidupan manusia, merupakan refleksi dari tauhid uluhiyyah. Seorang muslim harus menyakini bahwa hukum-hukum Allah (syari’at Allah), satu-satunya hukum terbaik yang mampu memecahkan seluruh problematika umat manusia. Ia tidak boleh menyakini aturan-aturan lain selain aturan Allah yang mampu menyaingi atau setingkat levelnya dengan aturan Allah swt. [10]

Seorang mukmin wajib menjunjung tinggi al-Quran dan Sunnah. Ia hanya akan berhukum dengan aturan-aturan Allah swt. Sebab, berhukum kepada al-Quran dan Sunnah adalah kewajiban mendasar seorang muslim, sekaligus refleksi pentauhidan kepada Allah swt dari sisi uluhiyyah. Al-Quran telah menyampaikan pesan penting ini di beberapa tempat; salah satunya di dalam surat An Nisaa’:60-61. Allah swt berfirman, artinya;

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.”{al-Nisaa’:60-61]

Ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa keimanan kepada Allah swt mengharuskan seseorang untuk hanya beribadah sesuai dengan aturan-aturan Allah. Dengan kata lain, seorang Mukmin wajib menyakini bahwa Allahlah satu-satunya Dzat yang berhak menetapkan hukum untuk mengatur kehidupan manusia.

Beriman kepada Asma’ dan sifat Allah
Tauhid Asma’ wa Shifat merupakan keyakinan bahwa Allah memiliki nama dan sifat, yang dengan nama dan sifatNya itu, Ia atau Nabi saw melukiskan keadaan diriNya.[11] Imam Ibnu Taimiyyah menyatakan, “Allah swt mensifati DiriNya dengan sifat yang telah disifatkan oleh DiriNya sendiri, atau disifatkan oleh Rasulullah saw, serta para generasi awal Islam yang tidak melebihi batas al-Quran dan Sunnah.[12] Nama dan Sifat Allah ditunjukkan oleh ayat-ayat berikut ini; “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.[Thaha:5] “Maha Suci Tuhan Yang empunya langit dan bumi, Tuhan Yang empunya `Arsy, dari apa yang mereka sifatkan itu.”[al-Zukhruf:82] “Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Maha Suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan apa yang ada di antara keduanya; dan di sisi-Nyalah pengetahuan tentang hari kiamat dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”[al-Zukhruf:84-85]

Nama dan Sifat Allah tidaklah serupa dengan sifat dan nama makhlukNya. Dalam hal ini Allah swt telah memberi rambu-rambu kepada umatNya ketika hendak memahami sifat dan nama Allah, dengan firmanNya;

فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat“.[al-Syura:11]. Demikianlah, Allah swt memiliki nama dan sifat.

Atas dasar itu, iman kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Allah I, yakni, membenarkan secara pasti Nama-nama dan Sifat-sifat Allah swt yang telah ditetapkan di dalam Al-Quran dan Sunnah, tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (peniadaan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).

Allah SWTberfirman, yang artinya :

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan..” ( QS. Al-A’raf : 180).

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi; Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( QS. An-Nahl : 60).

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“… tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Melihat.” ( QS. Asy-syura : 11).

Inilah pokok-pokok makrifatullah (makrifat kepada Allah) yang harus dipahami dan dibenarkan secara pasti oleh seorang Muslim. Hanya saja, dalam makrifat kepada Allah ini, seorang Mukmin harus memperhatikan hal-hal berikut ini;

Sesungguhnya, cara untuk makrifat (tashdiiq all-jaazim) kepada Allah swt harus didasarkan pada dalil (bukti) yang bersifat qath’iy, baik dengan bukti-bukti yang bersifat inderawi (wujud Allah), dan bukti-bukti simaa’iy (naqliy) (Nama dan Shifat Allah, Ibadah, dan lain sebagainya). Makrifat kepada Allah tidak boleh didasarkan pada dalil dzanniy, maupun berfikir filsafat.
Penetapan Shifat dan Nama Allah harus dipisahkan, atau tidak boleh dianalogkan dengan shifat dan nama makhlukNya. Sebab, Allah swt berbeda dengan makhlukNya, sehingga menafikan adanya analogi antara Allah dengan makhlukNya. Analog inilah yang menyebabkan adanya upaya-upaya ta’thil (meniadakan), tasybih (memiripkan), dan tahriif (penyimpangan) atas Nama dan Shifat Allah swt. Padahal, hal ini jelas-jelas tidak diperbolehkan di dalam Islam.
Jika tidak ada dalil-dalil qath’iy yang menjelaskan secara rinci mengenai Shifat, Nama, dan Perbuatan Allah, maka kita harus mencukupkan diri pada makna-makna globalnya, dan tidak boleh merincinya lebih lanjut.
Jika tiga unsur di atas telah tercapai, maka seorang Mukmin wajib membenarkan secara pasti (tashdiiq al-jaazim) terhadap perkara-perkara itu, kemudian merefleksikan keimanannya kepada Allah dengan jalan menjalankan seluruh perintahNya, dan menjauhi semua laranganNya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Oleh: Ust Syamsuddin Ramadhan

[1] Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, 290-294

[2] Imam al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, juz 1, hal. 49

[3] Imam al-Jurjaniy, al-Ta’rifaat, juz 1, hal. 12

[4] ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid al-Atsariy, Al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salaf al-Shaalih, juz 1, hal. 11-13

[5] Prof Mahmud Syaltut, al-Islaam, ‘Aqiidah wa Syarii’ah, hal. 12.

[6] Op.cit, hal.228.

[7] Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ al-Fatawa, juz I/42, pada bab Tauhid Uluhiyyah, Daar al-Kutub al-‘Imiyyah.

[8] Abu Ameenah Bilal, Menolak Tafsir Bid’ah, PT. Andalus Press, Surabaya, hal.235

[9] Lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir.

[10] Lihat, Dr. Mohammad Husain ‘Abdullah, Dirasaat fi al-Fikr al-Islaamiy

[11] Abu Ameenah Bilal, Menolak Tafsir Bid’ah, PT. Andalus Press, Surabaya, hal.208.

[12] Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ al-Fatawa, juz III/16, Daar al-Kutub al-‘Imiyyah.